Makassar (ANTARA News) - Keputusan pemerintah menghapus tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) senilai Rp5,71 triliun menjadi kabar baik hanya bagi "petani berdasi", oknum-oknum tertentu yang justru bukan petani yang selama ini lebih banyak menikmati kredit tersebut. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya meneliti secara mendalam sebelum mengambil keputusan penghapusan tunggakan kredit. Itu penting agar keputusan yang diambil tidak sia-sia dan salah sasaran. Sebagaimana diungkapkan Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Sulsel, Abdul Rahman Daeng Tayang, sudah menjadi rahasia umum bahwa KUT selama ini banyak diselewengkan dan dimanfaatkan oleh mereka yang bukan petani. Jika memang petani yang menunggak, itu sebuah keputusan yang baik, katanya. "Petani itu tidak suka menunggak. Kalau mereka pinjam kredit untuk olah sawah, mereka pasti bayar karena kredit bagi mereka menjadi haram kalau tidak dikembalikan," ujar Rahman. Rahman mencotohkan, sebuah kelompok tani di Kabupaten Wajo, Sulsel, beberapa tahun lalu tetap mengangsur kredit mereka sampai lunas, sekali pun jelas-jelas sawah mereka puso karena musim kemarau. Rahman yakin bahwa KUT yang tertunggak itu sebagian besar bukan dinikmati oleh petani, tetapi oleh oknum-oknum yang terkait dengan penyaluran dan pengembalian kredit tersebut baik di KUD, bank, pemerintah daerah, maupun LSM. Menurut Rahman, KTNA Sulsel selalu diundang untuk membahas masalah tunggakan KUT di daerahnya yang jumlahnya sekitar Rp300 juta. Setelah diteliti, ternyata dari jumlah kredit yang menunggak itu hanya satu persen yang benar-benar dinikmati petani. "Jadi, ini (keputusan penghapusan tunggakan KUT-red) adalah kabar baik bagi petani berdasi dan oknum-oknum non petani tersebut. Jadi yang besar akan semakin besar," ujar Rahman diiringi tawa yang menyiratkan keprihatinan. Terlalu Cepat Ekonom dari Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga pengamat ekonomi pertanian, Prof Dr Halide, sependapat bahwa keputusan menghapus tunggakan KUT dalam nilai yang besar, Rp5,71 triliun, itu terlalu cepat. "Seyogianya ada penelitian mendalam lebih dahulu atas kredit tersebut. Kredit yang betul-betul tersangkut di petani, itulah yang dihapus, tidak secara merata seperti itu," ujarnya. Bukan rahasia lagi bahwa akibat mekanisme penyaluran yang tidak dikontrol baik, banyak KUT fiktif yang dinikmati oleh oknum-oknum baik di bank penyalur, LSM, KUD atau oknum pemerintah daerah. Dulu, kata Halide, KUT itu disalurkan dalam bentuk paket berisi sarana produksi seperti pupuk dan obat-batan dan melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah daerah, bank, KUD lalu kelompok tani bahkan setelah reformasi, melibatkan LSM. Namun, ternyata alokasi paket sarana produksi itu terlambat tiba di petani saat mereka butuhkan, sehingga kemudian paket-paket itu dijual saja oleh oknum-oknum. "Itu sebabnya saya menilai bahwa maksud baik pemerintah ini justru menguntungkan oknum-oknum tersebut," ujarnya. Ke depan, kata Halide, pemerintah harus mengawasi dengan baik penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang akan diluncurkan dan petani seyogianya menerima uang tunai. "Kredit itu harus dicairkan tepat waktu saat petani mau menanam (olah tanah) dan saat mereka menunggu masa panen. Kalau tidak, maka petani akan jatuh ke tangan pengijon lagi," ujarnya.(*)