Walhi: RUU energi terbarukan harus cakup transisi energi
24 Juni 2019 20:13 WIB
Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono, menyampaikan paparan di Kantor Walhi, Jakarta, Senin (24/6/2019) (Zuhdiar Laeis)
Jakarta (ANTARA) - Rancangan undang-undang (RUU) tentang energi terbarukan harus mencakup langkah transisi energi, kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono.
"RUU Energi terbarukan memang belum ada, tetapi beberapa pihak sudah mendorong. Butuh itu, harus didorong karena listrik itu urusan publik," katanya, di Jakarta, Senin.
Yuyun mengingatkan perlunya memasukkan langkah transisi energi menuju energi terbarukan sebagai "road map" bagi pengurangan emisi di Indonesia.
Negara-negara berkembang, kata dia, termasuk Indonesia harus menyusun "road map" secara jelas untuk transisi energi, misalnya membentuk tim khusus.
"Kalau tidak, di 2050 kita masih gunakan (energi kotor). Okelah kalau enggak bisa di 2030, kapan? Diperjelas waktunya kapan. Jadi, mungkin di 2030 (tim) sudah bisa bergerak," katanya.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) Muhammad Reza juga mengakui pentingnya regulasi soal energi terbarukan karena menjadi pondasi urusan publik.
Setidaknya, kata dia, pemerintah bisa bercermin dari UU Nomor 20/2002 tentang Ketenagalistrikan yang pernah di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"DPR minimal bisa menggunakan putusan UU listrik itu. Soal publik, pranata negara harus berperan utama," katanya.
Sementara itu, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar justru mengajak pemerintah untuk membersihkan dulu lingkungan sekitarnya dari politisi pebisnis.
"Politisi pebisnis ikut mengeruk keuntungan dari batubara. Bersihkan lingkungan sekelilingnya dulu," katanya.
Pemerintah, kata dia, harus mampu menjelaskan kebutuhan batubara, seiring dengan produksi yang terus berlangsung.
"Apakah seluruh produksi batubara untuk menjawab kebutuhan masyarakat atau pasar? Ini harus di-'clearkan' dulu oleh pemerintah," kata Melky.
Baca juga: Masyarakat pun harus menjadi pemain utama dalam transisi energi
Baca juga: Yogyakarta wajibkan investor hotel mewah pakai energi terbarukan
Baca juga: AESI: pemanfaatan energi surya belum maksimal meski berpotensi besar
"RUU Energi terbarukan memang belum ada, tetapi beberapa pihak sudah mendorong. Butuh itu, harus didorong karena listrik itu urusan publik," katanya, di Jakarta, Senin.
Yuyun mengingatkan perlunya memasukkan langkah transisi energi menuju energi terbarukan sebagai "road map" bagi pengurangan emisi di Indonesia.
Negara-negara berkembang, kata dia, termasuk Indonesia harus menyusun "road map" secara jelas untuk transisi energi, misalnya membentuk tim khusus.
"Kalau tidak, di 2050 kita masih gunakan (energi kotor). Okelah kalau enggak bisa di 2030, kapan? Diperjelas waktunya kapan. Jadi, mungkin di 2030 (tim) sudah bisa bergerak," katanya.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) Muhammad Reza juga mengakui pentingnya regulasi soal energi terbarukan karena menjadi pondasi urusan publik.
Setidaknya, kata dia, pemerintah bisa bercermin dari UU Nomor 20/2002 tentang Ketenagalistrikan yang pernah di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"DPR minimal bisa menggunakan putusan UU listrik itu. Soal publik, pranata negara harus berperan utama," katanya.
Sementara itu, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar justru mengajak pemerintah untuk membersihkan dulu lingkungan sekitarnya dari politisi pebisnis.
"Politisi pebisnis ikut mengeruk keuntungan dari batubara. Bersihkan lingkungan sekelilingnya dulu," katanya.
Pemerintah, kata dia, harus mampu menjelaskan kebutuhan batubara, seiring dengan produksi yang terus berlangsung.
"Apakah seluruh produksi batubara untuk menjawab kebutuhan masyarakat atau pasar? Ini harus di-'clearkan' dulu oleh pemerintah," kata Melky.
Baca juga: Masyarakat pun harus menjadi pemain utama dalam transisi energi
Baca juga: Yogyakarta wajibkan investor hotel mewah pakai energi terbarukan
Baca juga: AESI: pemanfaatan energi surya belum maksimal meski berpotensi besar
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019
Tags: