Jakarta (ANTARA News) - Mayoritas negara berkembang mendesak agar institusi pengelola dana adaptasi, Global Environment Fund (GEF/Dana Lingkungan Global), dibubarkan dan diganti dengan institusi baru yang lebih transparan, mudah diakses, dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Haneda Sri Mulyanto, anggota tim bidang substansi negosiasi Sidang PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), di Bogor, Jumat, saat ini dana adaptasi sebesar dua persen dari dana Clean Development Mechanism (CDM/Mekanisme Pembangunan Bersih) disetir oleh GEF dan Bank Dunia. "Negara-negara berkembang yang tergabung dalam G 77 dan Cina menghendaki dana adaptasi dikelola oleh mereka sendiri, sehingga lebih transparan, mudah diakses, tidak bertele-tele, dan bisa dipertanggungjawabkan. Ia menjelaskan saat ini GEF tidak transparan dan berbelit-belit, dana adaptasi tidak disalurkan untuk negara-negara yang tidak punya proyek CDM walaupun mereka terkena imbas dampak perubahan iklim yang parah. "Proposal proyek CDM dari Cina juga tidak transparan, lebih cepat disetujui dan mendapat dana yang lebih besar," kata dia. Indonesia sendiri baru satu proyek CDM yang disetujui, yakni proyek di Pulau Gulan. "Hampir semua negara berkembang menginginkan institusi pengelola dana adaptasi yang baru, yang terdiri atas para pakar dan kerjanya diawasi langsung oleh UNFCCC," kata Haneda. Kalaupun GEF dipertahankan, lanjutnya, GEF harus memenuhi keinginan negara-negara berkembang, dan konsep reformasi institusi pengelola dana adaptasi akan ditentukan di sidang UNFCCCB Bali nanti. Ia juga menyebutkan saat ini besaran dana adaptasi yang tersedia adalah sekitar 800 juta dolar Amerika. "Untuk agenda negosiasi dana adaptasi dan REDD (penurunan emisi karbon akibat deforestasi di negara-negara berkembang), delegasi Indonesia akan berfokus, selain agenda lain yakni transfer teknologi dan format pasca-2012 ketika komitmen pertama Protokol Kyoto berakhir," demikian Haneda. (*)