Telaah -- Budaya Produktivitas Masyarakat China
17 November 2007 05:24 WIB
Oleh Bob Widyahartono MA *)
Jakarta (ANTARA News) - Pebisnis China umumnya kalau ditanyai tentang budaya produktivitas yang mereka terapkan, maka jawaban umumnya tidak terlalu jelas, tetapi pada intinya adalah "kerja keras dan kerja cerdas guna mencapai kemajuan, walaupun dalam prosesnya kadangkala merugi atau bahkan gagal". Itulah jawaban umumnya.
Sejak wal 1990-an, masyarakat Asia terhentak sekaligus mengagumi kegesitan bisnis China daratan, terutama yang berlokasi di pesisir/pantai Timur China. Kekaguman itu muncul, terutama di kalangan pelaku bisnis, dan kemudian pembuat kebijakan ekonomi negara-negara tetangganya di Asia Timur maupun Tenggara, termasuk Indonesia.
Berbagai dugaan inspirasi yang menggerakkan sukses itu muncul. Terungkap filosofi dasar dan sikap pandang bangsa dan kemauan mereka untuk berinspirasi. Dalam proses memantapkan strategi, inspirasi mereka dihayati dengan "kerja keras dan kerja cerdas" guna mencapai kemajuan diri dan perusahaan.
Kreativitas mereka didukung oleh hasrat menjangkau informasi untuk keperluan Penelitan dan Pengembangan (Research and Development/R&D). Bagi mereka kegiatan tersebut merupakan investasi tersendiri, dan bukan merupakan "biaya" yang dibebani pajak. Jadi, ber-R&D itu penting secara strategis, bahkan difaslitasi dengan kemudahan/keringanan pajak.
Strategi tersebut membuahkan sukses dalam menjangkau pasar domestik pada mula-mulanya, dan setelah ada kemantapan langsung memasuki pasar internasional melalui manufaktur skala besar maupun menengah dengan saling mendukung dan berbagi informasi. Kerjasama antara birokrasi dan bisnis merupakan keunikan tersendiri dalam berinternasionalisasi sampai dewasa ini, apalagi dengan dukungan sarana kemajuan sarana berteknologi informasi (Internet, telepon seluler, dan sebagainya), serta berteknologi transportasi. Serangkaian langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Dalam tahap awal dalam pasar internasional, didahului dengan melakukan stripping down sepenuhnya produk asal negara tetangga, seperti Jepang, Korea Selatan dan Hongkong/Taiwan hingga menjangkau Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Hal itu dipilah secara berulang dengan komponen yang lebih murah, suku cadang yang tersedia selalu tepat waktu dan tenaga kerja yang lebih murah diandingkan negara asal pembuat produknya. Alhasil, produk buatan China lebih murah sekalipun dijuluki oleh manufaktur AS dan Eropa sebagai lekas rusak, sehingga harganya murah (cheap sale). Berbagai tuntutan hukum penjiplakan pun muncul.
2. Pihak manufaktur China tidak menggubris tuntutan pasar, dan secara cepat mengatasinya dengan memasuki tahap perbaikan (improvement) ke kualitias menengah-akhir (medium-end dengan tetap menerapkan strategi harga murah yang diminati pasar, sehinggal luput dari gugatan penjiplakan. Marjin yang relatif rendah tetap mereka anut.
3. Awal tahun 2000-an ditandai dengan tahap berimprovisasi dengan meningkatkan mutu dan sedikit peningkatan harga yang sesuai mutu produknya. Tetap tidak mahal, namun makin bermutu. Mulailah manufaktur China melakukan diferensiasi produk dan merek dalam menerobos pasar dunia.
4. Tahun-tahun berikutnya secara gesit dan penuh kesadaran inovasi, China melakukan diferensiasi produk . Diciptakan "citra internasional" untuk produk mereka, seperti alat fotografi, arloji, otomotif dan elektronik. Hal itu membuat pihak negara tetangga Asia, dan terutama produsen AS dan Eropa kewalahan, bukan karena harga relatif lebih rendah, melainkan lantaran mutu yang lebih dapat diandalkan dengan layanan purna jual (after sales service) yang diusahakan setara dengan negara tetangga Jepang dan Korea Selatan, bahkan AS dan Eropa.
5. Ada industrialis China yang memasuki tahap penemuan dalam industri komputer, baik piranti keras maupun piranti lunaknya (Hardware/HW dan Software/SW), peralatan fotografi dijital (digital photographic equipment) yang memiliki daya saing yang kuat di pasar internasional.
Pebisnis China di pesisir sejak makin terbukanya perekonomian, terutama di kawasan pesisir/pantai, secara sigap sejak awal 1990-an terus mendapat dukungan teknologi informasi yang lebih canggih guna meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang mendalami teknologi proses. Dari luar China menggapai pengetahuan konsep pemasaran internasional, proses produksi berteknologi yang sesuai kinerka sekaligus kegesitan produktivitas yang tidak kalah dengan Jepang.
Meskipun, banyak manufaktur China masih padat karja dengan teknologi proses madya, tetap saja dalam pemasaran mereka menyesuaikan dengan kebutuhan pasar dan harga murah (market needs at lower prices) dibandingkan produk-produk hasil Jepang yang secara teknologis lebih bermutu.
Kesadaran untuk berinternasionalisasi terus mereka tumbuhkan, apalagi adanya dukungan Pemerintah demi berhasilnya gaige kaifang dengan chengbaozhi (reformasi dan keterbukaan) dengan tanggungjawab pribadi (self responsibility).
Langkah China berinternasionalisasi ekonomi, bisnis dan tentunya politik makin jelas arahnya dan tidak mau "diadu domba" oleh pihak AS dan beberapa Negara Barat. Kesadaran besarnya luas geografi Negara China dan jumlah penduduk, tidak ber-"hegemoni" dalam berbisnis dan berpolitik ke negara tetangga Asia dan dunia, tetapi atas dasar kesetaraan jangka panjangnya. Itulah kiat Sang Naga yang kian menggeliat. (*)
*)Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi bisnis dan studi pembangunan, terutama wilayah Asia Timur; Dosen Senior di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.
Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007
Tags: