MK tidak menerima permohonan uji UU ASN
15 April 2019 17:18 WIB
Foto Dok - Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan (berdiri), ketika memberikan keterangan di hadapan Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang uji materi UU ASN di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi. (ANTARA/Maria Rosari Dwi Putri)
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima perkara permohonan pengujian UU 5/2014 (UU ASN) serta sejumlah undang-undang lainnya yang diajukan oleh pegawai RSUD Kabupaten Ponorogo dan Forum Pemberdayaan Insan Madani Mitreka Satatha (Forpimmisa).
"Permohonan para pemohon sama sekali tidak memberikan dan menunjukkan argumentasi pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin.
Dalam sidang pendahuluan dan perbaikan permohonan, para pemohon juga tidak menguraikan mengenai inkonstitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami oleh para Pemohon.
“Padahal, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 19 Februari 2019 telah memberikan nasihat kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan memperjelas argumentasi pokok permohonannya," jelas Arief.
Arief melanjutkan, karena permohonan para pemohon dinilai kabur atau tidak jelas, maka permohonan dianggap tidak memenuhi syarat formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK.
"Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon," tambah Arief.
Dalam permohonannya, para pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya sejumlah pasal dalam undang-undang yang dimohonkan untuk diuji terutama terkait aturan mengenai pegawai tidak tetap. Pemohon menilai UU yang diujikan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan tindak diskriminatif bagi pegawai tidak tetap.
Para pemohon juga mempermasalahkan kewenangan mengangkat ASN untuk dunia pendidikan dan dunia kesehatan yang bertentangan dengan undang-undang lain.
Dalam petitumnya, pemohon meminta seluruh pasal dalam undang-undang yang diajukan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Permohonan para pemohon sama sekali tidak memberikan dan menunjukkan argumentasi pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin.
Dalam sidang pendahuluan dan perbaikan permohonan, para pemohon juga tidak menguraikan mengenai inkonstitusionalitas norma, akan tetapi justru lebih banyak menguraikan kasus konkret yang dialami oleh para Pemohon.
“Padahal, Mahkamah dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan pada tanggal 19 Februari 2019 telah memberikan nasihat kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU MK dan memperjelas argumentasi pokok permohonannya," jelas Arief.
Arief melanjutkan, karena permohonan para pemohon dinilai kabur atau tidak jelas, maka permohonan dianggap tidak memenuhi syarat formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK.
"Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon," tambah Arief.
Dalam permohonannya, para pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya sejumlah pasal dalam undang-undang yang dimohonkan untuk diuji terutama terkait aturan mengenai pegawai tidak tetap. Pemohon menilai UU yang diujikan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan tindak diskriminatif bagi pegawai tidak tetap.
Para pemohon juga mempermasalahkan kewenangan mengangkat ASN untuk dunia pendidikan dan dunia kesehatan yang bertentangan dengan undang-undang lain.
Dalam petitumnya, pemohon meminta seluruh pasal dalam undang-undang yang diajukan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019
Tags: