Masyarakat Aceh berkemah di lahan bekas tsunami
26 Desember 2018 23:27 WIB
Warga berdoa saat tausiah Ustad Abdul Somad pada peringatan 14 tahun tsunami Aceh, di Masjid Tengku Mahraja Gurah, kecamatan Peukan Pada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Rabu (26/12/2018). Acara tersebut mengangkat tema, Hikmah Di balik Bencana Tsunami dan Menatap Masa Depan Aceh Lebih Baik. ANTARA FOTO/Ampelsa/aww)
Meulaboh, Aceh (ANTARA News) - Masyarakat dengan berbagai kalangan usia meramaikan dzikir dan doa bersama di tenda yang sengaja dibangun di lokasi bekas terjangan tsunami di Desa/ Gampong Pante Mutia, Kecamatan Arongan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat.
"Ini dilakukan untuk mengenang gampong kelahiran kami yang sudah hilang karena tsunami dan sudah kami tinggalkan sejak beberapa tahun lalu," kata seorang warga Zulfikar kepada Antara, di Arongan Lambalek, Rabu malam.
Warga mendirikan kemah dari bahan terpal bertiang bambu dan bermalam di lokasi itu layaknya "berkemah" mengenang 14 tahun gempa dan tsunami Aceh. Warga juga mendirikan dapur umum sebagai petanda perkampungan itu masih ada.
Hampir semua penduduk Gampong Pante Mutia tersebut, saat ini telah direlokasi ke Gampong Seneubok Tengoh, Kecamatan Arongan Lambalek, namun mereka masih belum bisa meninggalkan sepenuhnya kampung kelahiran mereka itu.
Apalagi banyak saudara-saudara mereka yang pernah tinggal di permukiman di bibir pantai itu telah tiada karena disapu habis oleh dahsyatnya tsunami pada Minggu pagi 26 Desember 2004 silam.
"Setiap tahun kami buat kemah di sini, semua warga Gampong Pante Mutia datang berkumpul dan tinggal di sini selama satu hari satu malam, khususnya pada setiap hari peringatan tsunami," jelasnya lagi.
Dengan cara tersebut, warga mencoba mengembalikan nostalgia bersama keluarga yang masih hidup dengan generasi saat ini, dan memperkenalkan sejarah kepada anak cucu mereka agar tidak melupakan sejarah yang telah merenggut keluarganya.
Di bawah tenda itu, warga melaksanakan dzikir, baca surah yasin, khatam Al Quran dan diisi tausiah agama. Kegiatan itu dilakukan sejak terbenam matahari tanggal 26 Desember hingga terbit matahari pagi 27 Desember.
"Ada 88 kepala keluarga yang tinggal di sini dan kegiatan ini sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun, meski saat ini tinggal di area perkampungan orang, kami tetap mengingat kampung kami sendiri," imbuh Zulfikar.
Saat ini, wilayah bekas permukiman itu telah dimanfaatkan menjadi area pertanian, agar tidak ditingalkan begitu saja, walau pun mereka saat ini telah memiliki permukiman baru di desa lain.
Baca juga: Warga Aceh Jabodetabek doakan korban tsunami Selat Sunda
Baca juga: Peringatan tsunami Aceh akan dihadiri 10.000 pengunjung
"Ini dilakukan untuk mengenang gampong kelahiran kami yang sudah hilang karena tsunami dan sudah kami tinggalkan sejak beberapa tahun lalu," kata seorang warga Zulfikar kepada Antara, di Arongan Lambalek, Rabu malam.
Warga mendirikan kemah dari bahan terpal bertiang bambu dan bermalam di lokasi itu layaknya "berkemah" mengenang 14 tahun gempa dan tsunami Aceh. Warga juga mendirikan dapur umum sebagai petanda perkampungan itu masih ada.
Hampir semua penduduk Gampong Pante Mutia tersebut, saat ini telah direlokasi ke Gampong Seneubok Tengoh, Kecamatan Arongan Lambalek, namun mereka masih belum bisa meninggalkan sepenuhnya kampung kelahiran mereka itu.
Apalagi banyak saudara-saudara mereka yang pernah tinggal di permukiman di bibir pantai itu telah tiada karena disapu habis oleh dahsyatnya tsunami pada Minggu pagi 26 Desember 2004 silam.
"Setiap tahun kami buat kemah di sini, semua warga Gampong Pante Mutia datang berkumpul dan tinggal di sini selama satu hari satu malam, khususnya pada setiap hari peringatan tsunami," jelasnya lagi.
Dengan cara tersebut, warga mencoba mengembalikan nostalgia bersama keluarga yang masih hidup dengan generasi saat ini, dan memperkenalkan sejarah kepada anak cucu mereka agar tidak melupakan sejarah yang telah merenggut keluarganya.
Di bawah tenda itu, warga melaksanakan dzikir, baca surah yasin, khatam Al Quran dan diisi tausiah agama. Kegiatan itu dilakukan sejak terbenam matahari tanggal 26 Desember hingga terbit matahari pagi 27 Desember.
"Ada 88 kepala keluarga yang tinggal di sini dan kegiatan ini sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun, meski saat ini tinggal di area perkampungan orang, kami tetap mengingat kampung kami sendiri," imbuh Zulfikar.
Saat ini, wilayah bekas permukiman itu telah dimanfaatkan menjadi area pertanian, agar tidak ditingalkan begitu saja, walau pun mereka saat ini telah memiliki permukiman baru di desa lain.
Baca juga: Warga Aceh Jabodetabek doakan korban tsunami Selat Sunda
Baca juga: Peringatan tsunami Aceh akan dihadiri 10.000 pengunjung
Pewarta: Anwar
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018
Tags: