oleh Bob Widyahartono M.A.*) Jakarta (ANTARA News) - Jika menyimak perkembangan politik dalam negeri Jepang dan dampaknya terhadap diplomasi Negeri Matahari Terbit itu belakangan ini, maka kalangan elite hubungan luar negeri dan pengamat di Indonesia akan banyak yang bertanya-tanya mengenai sejarah, atau paling tidak berkomentar: "... apa perlunya menggali kebelakang, tiga puluh tahun lalu, apa masih relevan untuk mengkaji benang merahnya sampai sekarang ini?" Sudah sejak Agustus 1977 pola diplomasi yang dianut Jepang adalah doktrin Fukuda yang dikumandangkan oleh Perdana Menteri (PM) saat itu, Takeo Fukuda, yang dikenalkannya dengan diplomasi "dari hati ke hati" (heart to heart diplomacy) ke Selatan, yakni ASEAN tahun 1977, termasuk dalam hubungan perdagangan, investasi dan bantuan Jepang ke ASEAN Terbetik berita waktu itu ”... Perdana Menteri Fukuda bertekad bahwa Jepang sebagai negara yang mengikatkan diri pada perdamaikan, tidak akan pernah mnjadi suatu kekuatan militer dan bahwa Jepang akan membangun hubungan atas dasar saling mempercayai dengan Negara Negara Asia Tenggara dalam bidang-bidang yang luas, dan bahwa Jepang akan bekerjasama secara positif dengan ASEAN dan negara-negara anggotanya dalam upaya masing masing, sebagai mitra yang sederajat..." Kini, abad 21 yang sejak akhir tahun 1990an makin diyakini sebagai Abad Asia, maka fokus perhatian para elite dan pengamat Indonesia adalah pada pacuan Jepang dan China untuk memperoleh pengaruh dalam berdiplomasi politik dan ekonomi internasional yang damai dan bersahabat, khususnya ke kawasan Asia. Secara harfiah "kokusaika" artinya "internasionalisasi". Istilah itu di Jepang umumnya diartikan sebagai suatu kesadaran sebagai anggota komunitas dunia dan bagaimana mendefinisikan kesadaran ini dalam kehidupan sehari hari (real life). Kesadaran ini tidak terbatas pada pertukuaran materiil dan kultural, tetapi juga menyangkut interaksi yang lebih luas antara sesama manusia , baik antara sesama warga Jepang maupun warga bangsa lainnya. Di kalangan akademisi Jepang dikenal sejarah tiga pendekatan "kokusaika" yang makin digali justru muncul saat bangsa Asia memasuki tonggak sejarah baru yaitu mulai tahun ke limapuluh (1995an) setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Tiga pendekatan itu adalah 1. Pola absorptive-imitative, 2. Pola hegemonic-proselytic, 3. Pola contributive-co-existence. Pola pertama merupakan pola menyerap-meniru apa saja yang dikembangkan di dunia Barat. Kemudian, pola kedua hegemonic-proselytic (hegemoni-menjajah), yaitu manifestasi kebijakan dunia Barat dari Spanyol sampai ke Amerika sebagai akibat fenomena reformasi sosial dan revolusi industri di barat; dan pola ketiga, contributively -co-existence, hidup berdampingan dengan menggerakkan suatu budaya dan madani (civilization) yang luas (culture and civilization on a wider base). Sejak kepemimpinan Junichiro Koizumi pada 2001 hingga 2006 keadaan ini itu terlihat makin matang, dan terungkap gaya barunya dalam ber-"kokusaika" dengan pendekatan "pola contributive co-existence" juga dalam hubungan ekonomi, investasi dan bantuan (trade, investment and Official Development Assistance) dengan negara-negara kawasan Asia Timur termasuk ASEAN. Bahkan, Koizumi menjelang akhir masa jabatannya berkunjung ke Amerika Serikat (AS) yang dalam pertemuan pribadinya dengan Presiden George W. Bush malah membawa gaya Elvis Presley. Koizumi termasuk penggemar berat sang Raja Rock & Roll itu, bahkan ia bersama Bush sempat menggunjungi Museum Elvis di kota Memphis. Walaupun belum banyak diserap oleh elite di Indonesia hingga saat ini, agaknya Jepang perlu dimaknai dalam suatu kerangka formulasi pandangan hidup dengan memiliki cita-cita berperanan sebagai kekuatan dunia baru yang cinta damai dan berbudaya termasuk dalam bersaing di tataran internasional. Bagi Jepang, apalagi sejak 1990an, berpacu/bersaing dengan China dan belakangan ini India, untuk mampu menjadi salah satu negara adi daya dengan kekuatan materiiil makin disadari tidaklah mencukupi. Kehebatan materiil tersebut harus diperkuat oleh suatu elemen lain, yakni kultur, dan bukan arogansi model perang dingin yang lebih mengutamakan menang-kalah. Untuk dapat dipahami dan diapresiasi, maka introduksi kultur dan sikap pandang dunia (world view) hanya dapat dikerjakan atas dasar suatu pemahaman yang mendalam dan menghargai kultur bangsa lainnya. Kultur membentuk sikap pandang tentang dunia. Ketika Shinzo Abe (September 2006) muncul sebagai suksesor Koizumi, yang juga tergolong reformis yang lahir pasca-Perang D II (Abe lahir tahun 1947), memiliki sikap pandang terhitung matang yang visioner dan berupaya membangun kemitraan yang makin solid dengan negara-negara Asia Timur. Keputusan yang didukung oleh sikap optimistis berbagai kalangan elite muda Jepang dalam langkah keluar dari rezim pasca-Perang Dunia II. Dunia perpolitikan Jepang membatasi Shinzo Abe yang hanya bercokol setahun (26 September 2006 – 12 September 2007). Meskipun, Abe menggarisbawahi posisi baru dasar pembangunan bangsa Jepang secara lebih riil dalam hubungan internasional dalam politik ekonomi dan budaya. Kalangan elit dan pengamat kita yang mengkritik, diharap mau menghargai visi secara lebih dewasa, yakni ikut membangun Asia yang "damai, harmonis dan sejahtera" (peace, harmonious dan prosperous) dalam "mutual attraction, mutual support and interdependence" sebagaimana pernah terungkap oleh seorang pengamat/akademikus Jepang pada November 2006 saat bertemu penulis. Kalangan pengamat dan akademisi Jepang sendiri makin sadar bahwa Jepang harus mau memberi makna dalam diplomasi damainya dan tidak terjebak kembali dalam isu isu sensitive. Ke masa depan, setelah kepemimpinan Shinzo Abe, tetap seterusnya sebagai abadnya Asia, maka Jepang dalam beraliansi strategis dengan China, Korea Selatan dan ASEAN secara tetap terbuka yang diharapkan menjadi salah satu unsur kepemimpinan di Asia Timur atas dasar kesetaraan. Setelah lengsernya Abe, berbagai spekulasi muncul siapa yang menggantikannya yang harus diputuskan oleh Majelis Rendah Jepang dan direstui Majelis Tinggi sebelum 23 September ini untuk mendayungkan Jepang sebagai pemeran dalam Asia Timur, dengan harapan menjiwai Doktrin Fukuda dan masih relevan juga bagi kalangan pengamat Indonesia. Sejak 14 September 2007, antara Taro Aso, mantan Menteri Luar Negeri yang juga orang dekatnya Abe, dengan Yasuo Fukuda, mantan Menteri Sekertaris (zamannya Perdana Menteri Koizumi) keduanya dari Partai LDP akan bersaing untuk memperoleh dukungan luas dari Partai LDP. Yang menang akan diorbitkan menjadi Perdana Menteri. Yasuo Fukuda adalah anak mantan Perdana Menteri Takeo Fukuda (1976-1978). Krisis di Jepang dengan mundurnya Abe lebih banyak berkutik pada urusan domestik (domestic oriented), antara lain kesenjangan kaya-miskin untuk dibenahi. Prediksi mengenai hubungan luar negeri, terutama ke Asia Timur dan ASEAN, tetap akan berlangsung sebagai prioritas utama memasuki tahun-tahun mendatang. (*) *)Bob Widyahartono M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi Studi Pembangunan, terutama masalah Asia Timur; dan Lektor Utama di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta.