"Nothing, honey. Your dad`s going to the Moon" (Tidak ada apa-apa, sayang. Ayahmu akan pergi ke bulan).

Kalimat tersebut diucapkan oleh Janet Armstrong (diperankan oleh aktris Claire Foy) kepada anaknya ketika mendengar sang suami, Neil Armstrong (Ryan Gosling) diberi amanah untuk memimpin ekspedisi Apollo 11, roket yang akan membawa astronot pertama menyentuh permukaan bulan.

Kisah First Man, bila dilihat sekilas dari judulnya, memang terlihat seperti upaya untuk menuturkan bagaimana perjuangan astronot untuk mencapai bulan.

Namun, semenjak adegan pertama dari film berdurasi 141 menit itu, penonton sudah mulai dibawa kepada sudut pengambilan gambar yang jauh lebih personal daripada sekadar penjelajahan menuju bulan.

Pada awalnya, penonton disuguhkan oleh Neil Armstrong yang sedang menguji pesawat berkecepatan suara hipersonik X-15 yang merupakan moda transportasi udara sebagai uji coba astronot di atmosfir bumi.

Bila pada umumnya, pengambilan gambar terkait pesawat di berbagai film diambil dari sisi pandang "luar pesawat" seperti manuver pesawat yang melesat dalam berkecepatan tinggi, namun dalam First Man, penonton lebih banyak dibawa untuk melihat dari sisi pandang Neil Armstrong dari dalam kokpit.

Metode ini demikian efektif dalam membawa emosi penonton sehingga saat Neil kembali mendaratkan pesawatnya di Bumi, penonton juga dibawa untuk menghela nafas lega karena dapat melihat dari dekat bagaimana kesukaran yang dialami oleh Neil dan bagaimana dia bisa mengatasi tekanan tersebut.

Seperti telah disampaikan di awal, film ini tidaklah terlalu menggambarkan kegemilangan Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang berhasil mencapai bulan.

Malah, pada beberapa adegan pertama film ditunjukkan mengenai bagaimana Neil dan sang istri yang sangat mencintai anak perempuannya yang menderita tumor.

Saat sang buah hati, Karen Armstrong (Lucy Stafford), terpaksa menyerah dalam perjuangannya melawan tumor, terlihat sosok Neil yang sangat sedih menghadapinya.

Kehilangan Karen, dan permasalahan di tempat kerja, membuat Neil terdorong untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu astronot yang sedang dicari oleh NASA (Badan Antariksa AS).

Meski banyak saingannya berasal dari latar belakang militer, Neil dapat masuk dan menjadi segelintir orang berlatar belakang sipil yang berhasil menjadi astronot.

Pelatihan yang ditampilkan dalam film juga membuat penonton memahami bagaimana kesukaran yang harus dialami oleh seorang astronot dalam menghadapi pelatihan yang disuguhkan NASA.

Tidak hanya pelatihan fisik (seperti menaiki mesin layaknya wahana taman hiburan yang membuat isi perut berpotensi terlontar keluar), tetapi para astronot juga harus memahami berbagai ilmu fisika tingkat dasar hingga terapan.

Selain itu, yang banyak tidak disadari oleh banyak orang, bahwa sebenarnya menjadi astronot juga berpotensi dekat dengan kematian.

Hal tersebut juga yang ditunjukkan oleh Neil, di mana dalam bertahun-tahun sebagai astronot, dia telah mendengar beberapa kawannya tewas dalam tugas.

Pada saat itu (tepatnya di dekade 60-an), program penjelajahan ke bulan juga kerap menjadi kontroversi di tengah masyarakat Amerika itu sendiri.

Pasalnya, program tersebut juga menghabiskan jutaan dolar AS yang berasal dari uang pajak yang dipungut dari warga AS, sehingga banyak yang mempertanyakan efektivitasnya.

Apalagi, ketika itu pemerintah Amerika juga sedang menghadapi Perang Vietnam yang juga mendapat kritikan dari banyak warganya.

Namun, meski kontroversi itu ditampilkan secara nyata dalam film, tetapi juga tidak membuat penonton berpaling dari apa yang menjadi inti dari cerita ini, yaitu mengenai balada dari seorang astronot yang akan pergi ke bulan untuk pertama kali.

Pujian layak ditujukan kepada Claire Foy, yang perannya sebagai istri dari Neil Armstrong berhasil dibawakan dengan apik, di mana terlihat nuansa emosi yang ditunjukkan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari sebagai istri sang astronot.

Adegan yang layak untuk disimak dengan baik adalah saat Neil Armstrong ingin pergi ke tempat karantina sebelum memimpin ekspedisi Apollo 11 ke bulan. Ketika itu, Janet bersikeras agar Neil dapat berpamitan dengan anak-anaknya.

Namun, Neil yang ditunjukkan seperti orang yang nyaris tanpa emosi, kerap menghindarinya, sehingga membuat Janet marah dan menegaskan agar Neil dapat berbicara dengan anak-anaknya sebelum pergi ke bulan yang berpotensi bisa membuat dirinya kehilangan nyawa.

Pujian lainnya juga layak ditujukan kepada sang sutradara Damien Chazelle, yang lebih memilih untuk mengambil sisi pengambilan gambar yang menunjukkan sisi personalitas dari Neil dan keluarganya, dan jarang sekali memperlihatkan suasana gegap gempita seperti penonton yang bersorak-sorai ketika roket terbang dan sebagainya.

Damien, yang dua karya sebelumnya juga mendapat pujian dari kritikus film, yaitu Whiplash dan La La Land (keduanya mendapatkan nominasi film terbaik Academy Award), layak menunjukkan dirinya sebagai sutradara muda (dia baru berusia 33 tahun) yang sangat-sangat berbakat.

Tidak lupa pula untuk diketahui bahwa skenario film tersebut dilakukan oleh Josh Singer, yang meraih Piala Oscar untuk skenarionya di film Spotlight (2015).

Salah satu fakta kecil yang menarik lainnya adalah Steven Spielberg, salah satu sutradara yang dianggap terhebat di dunia sinema, juga menjadi produser eksekutif di film ini.

Pada akhirnya, film First Man juga layak untuk disejajarkan dengan beragam film lainnya yang menggugah inspirasi terkait dengan penjelajahan luar angkasa, seperti Apollo 13 (1995) dan Gravity (2013).

Baca juga: Justin Beiber pesan kursi ke ruang angkasa
Baca juga: 'Gravity' membuat heboh jagat film