Ada pelanggaran dalam pilkada di Kabupaten Deiyai Papua
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan I Dewa Gede Palguna (kanan) bersiap memimpin sidang putusan sengketa pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (12/9/2018). Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan terkait perselisihan Pemilihan Wali Kota Cirebon dengan melaksanakan pemilihan ulang di sejumlah TPS di empat kecamatan, sedangkan untuk Pilkada Deiyai, Papua, MK menginstruksikan untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di sejumlah TPS Distrik Kapiraya. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc.
"Menyatakan telah terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan pemungutan suara dengan cara noken di semua TPS di Distrik Kapiraya dan beberapa TPS di Distrik Tigi Barat yaitu; TPS1, TPS2, TPS 3, dan TPS 4 Kampung Deiyai I," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Rabu.
Putusan MK ini kemudian membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Deiyai tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara di Tingkat Kabupaten, yang berlaku untuk perolehan suara di seluruh TPS yang dinyatakan telah terjadi pelanggaran.
Karena pelanggaran tersebut, MK memerintahkan KPU Kabupaten Deiyai untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS yang dinyatakan telah terjadi pelanggaran.
"Dan harus diikuti oleh seluruh pasangan calon dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deiyai Tahun 2018 dengan supervisi KPU Provinsi Papua dan KPU RI serta dengan pengawasan yang ketat oleh Bawaslu Kabupaten Deiyai yang disupervisi oleh Bawaslu Provinsi Papua dan Bawaslu RI," ujar Anwar.
Pelanggaran dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten Deiyai terbukti dalam dokumen dan rekaman yang diajukan oleh pemohon, yaitu pasangan calon nomor urut 4 Inarius Douw - Anakletus Doo.
Dalam dokumen dan rekaman tersebut, Mahkamah menemukan inkonsistensi dalam surat kesepakatakan noken mengenai jumlah suara yang akan diberikan kepada masing-masing pasangan calon.
Selain itu keterangan Kepala Desa Deiyai I Yeheskiel Kotouki menyatakan kesepakatan tersebut adalah penipuan dan tidak diketahui oleh dirinya. Adapun tanda tangan dalam kesepakatan tersebut atas nama Rufus Ukago yang merupakan Kepala desa lama yang sudah lama meninggal.
"Isi kesepakatan berupa pembagian perolehan suara tersebut adalah hal yang mendasar atau substansial bagi seluruh kesepakatan adat dalam pemungutan suara," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan Mahkamah.
Dengan tidak adanya kejelasan angka perolehan suara dalam kesepakatan tersebut kemudian dinilai Mahkamah mengakibatkan tidak adanya landasan keyakinan Mahkamah untuk mempertimbangkan apakah hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon di Kampung Deiyai I merupakan hasil kesepakatan masyarakat atau tidak.
"Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa dalil pemohon yang menyatakan memperoleh 2.000 suara di Kampung Diyai I berdasarkan kesepakatan masyarakat tidak dapat diyakini kebenarannya sehingga harus dinyatakan tidak terbukti menurut hukum," ujar Palguna.
Baca juga: MK mengungkap pelanggaran di pilkada Cirebon
Baca juga: MK perintahkan pemungutan suara ulang dalam pilkada Cirebon
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018