Lebak (ANTARA News) - Novel "Max Havelaar" (ditulis di Belgia pada 1860) yang ditulis oleh Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1821-19 Februari 1887) adalah gugatan atas ketidakadilan yang terjadi di Lebak, Banten.

Hal itu dikatakan oleh kritikus sastra, Katrin Bandel, saat simposium "Pascakolonial dan Isi-isu Mutakhir Lintas Disiplin" pada Festival Seni Multatuli, di Rangkasbitung, Banten, Jumat.

"Dia memilih menggugat dalam novel, setelah gugatannya secara langsung kepada pemerintah Belanda tidak digubris," kata Katrin.

Dia mengatakan novel yang terbit pada 1860 itu bukanlah novel anti-kolonialisme karena dia tidak menyuarakan soal kemerdekaan, tetapi dia mempertanyakan cara Belanda memperlakukan masyarakat di negeri jajahan tersebut.

Dia yang mempelajari studi pascakolonial mengatakan bahwa di dalam kolonialisme mengandung ambivalen dimana satu sisi mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Di sisi lain pihak kolonialisme mengklaim mereka sedang membawa nilai moral baru, keadilan bagi pihak yang dijajahnya.

"Max Havelaar menggambarkan ambivalensi itu secara tampak. Di satu sisi novel itu menggambarkan bahwa para para pejabat kolonial dalam satu acara resmi bersumpah membela, menolong rakyat. Tetapi di sisi lain mereka mengeksploitasi rakyat," kata dia.

Tidak hanya ada di dalam jalur cerita, kolonialisme yang ambivalen itu juga dituang dalam pertentangan maskulinitas antara dua tokoh yaitu Droogstoppel dan Max Havelaar.

Droogstoppel adalah orang yang memandang kesuksesan dari harta dan status. Dia juga mengkaitkan agama dengan kesuksesan seseorang, jika seorang semakin taat maka akan semakin sukses.

Sementara itu Max Havelaar adalah tokoh yang mengutamakan tanggung jawab, seorang menjadi terhormat dengan menolong orang lain.

Dia mengatakan Max Havelaar menghadirkan dua maskulinitas yang tidak tersatukan yaitu sang kapitalis sibuk memaksimalkan keuntungan yang tak akan bisa menjadi pembela rakyat, dan sang pejuang keadilan yang tak akan pernah menjadi kaya.

Bagi publik Indonesia, terdapat dua Douwes Dekker, yaitu Eduard Douwes Dekker yang residen bupati Lebak dan penulis, serta Ernest Francoise Eugene Douwes Dekker (8 Oktober 1879-28 Agustus 1950). Douwes Dekker yang terakhir merupakan cucu dari adik Douwes Dekker senior, Jan, dan kelak dia dikenal sebagai Danudirdja Setiabudi.

Ia penggagas nama "Nusantara" untuk seluruh wilayah bekas jajahan Belanda, Hindia-Belanda, dan bersama dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantoro) merupakan Tiga Serangkai pendiri Indische Partij pada 1912, partai politik embrio gerakan politik kaum Bumiputera melawan penjajahan Belanda.