DPR minta masyarakat tidak perlu khawatir pasca UU MD3 disahkan
14 Maret 2018 13:38 WIB
Suasana Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (14/2/2018). Dalam rapat tersebut DPR menunda pelantikan pimpinan baru yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), karena belum ada penomoran tentang hasil revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPR, Bambang Soesatyo, meminta masyarakat tidak perlu khawatir terkait sejumlah pasal yang ada dalam Perubahan Kedua UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang akan sah menjadi UU MD3, Kamis (15/3).
"Kami harap publik tidak perlu ada yang dikhawatirkan karena UU MD3 itu hanya mengatur tata cara kami di DPR, tidak ada anggota DPR jadi kebal hukum dan tidak ada UU MD3 merusak demokrasi," kata Soesatyo, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Dia mencontohkan aturan mengenai wewenang DPR untuk pemanggilan paksa seseorang pada pasal 73 ayat (3) dan (4); pasal itu sebenarnya buat aturan baru.
Menurut dia, upaya pemanggilan paksa sudah ada aturannya sejak dua tahun lalu dalam UU MD3 namun tidak pernah digunakan hingga saat ini.
"Karena semua menteri, kepala lembaga negara, kepala lembaga ketika dua kali tidak datang dipanggil DPR, maka panggilan ketiga mereka dateng," ujarnya.
Dia mencontohkan, pimpinan KPK tidak hadir ketika dipanggil Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Tugas dan Kewenangan KPK, namun selalu hadir ketika dipanggil di Komisi III DPR.
Hal itu, menurut dia, menunjukkan KPK patuh kepada aturan main yang ada di DPR sehingga tidak perlu dikhawatirkan mengenai adanya ancaman bagi demokrasi pasca Perubahan Kedua UU MD3 disahkan.
"Terkait UU MD3 sesuai aturan perundang-undangan, maka hari ini adalah terakhir dan mulai Pukul 00.00 WIB nanti malam, UU tersebut berlaku dan mudah-mudahan besok pemerintah sudah memberi nomor atas UU tersebut sehingga bisa diundangkan dan dilaksanakan," katanya.
Selain itu Bambang juga memuji sikap masyarakat yang tidak setuju hasil Perubahan Kedua UU MD3 yang telah disepakati DPR dan Pemerintah, lalu mereka tidak gaduh namun mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI pada Senin (12/2) menyetujui perubahan ke-2 RUU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi Undang-Undang, namun diwarnai dengan aksi "walk out" dari Fraksi Partai NasDem dan Fraksi PPP.
Pasal 73 ayat 2 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa "Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan".
Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah pasal 122 huruf (k) yang menyebutkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) diberikan tugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Dalam pasal 245 UU MD3 hasil perubahan kedua dijelaskan, ayat (1) "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD".
Ayat (2) berbunyi, "Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR: (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana; (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana kejahatan terhadal kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.
"Kami harap publik tidak perlu ada yang dikhawatirkan karena UU MD3 itu hanya mengatur tata cara kami di DPR, tidak ada anggota DPR jadi kebal hukum dan tidak ada UU MD3 merusak demokrasi," kata Soesatyo, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Dia mencontohkan aturan mengenai wewenang DPR untuk pemanggilan paksa seseorang pada pasal 73 ayat (3) dan (4); pasal itu sebenarnya buat aturan baru.
Menurut dia, upaya pemanggilan paksa sudah ada aturannya sejak dua tahun lalu dalam UU MD3 namun tidak pernah digunakan hingga saat ini.
"Karena semua menteri, kepala lembaga negara, kepala lembaga ketika dua kali tidak datang dipanggil DPR, maka panggilan ketiga mereka dateng," ujarnya.
Dia mencontohkan, pimpinan KPK tidak hadir ketika dipanggil Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Tugas dan Kewenangan KPK, namun selalu hadir ketika dipanggil di Komisi III DPR.
Hal itu, menurut dia, menunjukkan KPK patuh kepada aturan main yang ada di DPR sehingga tidak perlu dikhawatirkan mengenai adanya ancaman bagi demokrasi pasca Perubahan Kedua UU MD3 disahkan.
"Terkait UU MD3 sesuai aturan perundang-undangan, maka hari ini adalah terakhir dan mulai Pukul 00.00 WIB nanti malam, UU tersebut berlaku dan mudah-mudahan besok pemerintah sudah memberi nomor atas UU tersebut sehingga bisa diundangkan dan dilaksanakan," katanya.
Selain itu Bambang juga memuji sikap masyarakat yang tidak setuju hasil Perubahan Kedua UU MD3 yang telah disepakati DPR dan Pemerintah, lalu mereka tidak gaduh namun mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI pada Senin (12/2) menyetujui perubahan ke-2 RUU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi Undang-Undang, namun diwarnai dengan aksi "walk out" dari Fraksi Partai NasDem dan Fraksi PPP.
Pasal 73 ayat 2 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa "Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan".
Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah pasal 122 huruf (k) yang menyebutkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) diberikan tugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Dalam pasal 245 UU MD3 hasil perubahan kedua dijelaskan, ayat (1) "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD".
Ayat (2) berbunyi, "Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR: (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana; (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana kejahatan terhadal kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; (c) disangka melakukan tindak pidana khusus.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018
Tags: