Oleh Bob Widyahartono MA Jakarta (ANTARA News) - Sejak tahun 1970an dan tahun 1980an , Jepang sudah kuat ekonominya dan mampu bersaing dengan negara-negara di Eropa dan Amerika. Industri otomotif dan elektronikanya dapat merajai pasaran dunia. Muncul ditahun 1980 dibawah pimpinan Deng Xiaoping, China pun keluar dari belakang tirai bambunya, menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonominya yang paling cepat di dunia. Sepuluh tahun kemudian, India juga berhasil mencapai "take off" dalam industrinya. Demikian pengamatan Tarun Khanna dalam "India’s Entrepreneuirial Advantage" (Mc.Kinsely Quaterly, 2004) Banyak pengamat Barat dan Asia pernah menyebut bahwa Jepang merupakan satu-satunya pemain handal Asia dalam era tahun 1970-an sampai dengan awal 1990an. Kemantapannya dipertahankan oleh masyarakat Jepang meskipun awal 1990an mengalami resesi. Etos kerja dengan jiwa samurai, disertai tekad penguasaan teknologi, manajemen yang dijiwai jiwa tersebut berhasil membangun kembali dari reruntuhan akibat kalah Perang Dunia kedua hanya dalam tempo 30 tahunan menjadi negara industri maju satu-satunya di Asia. Keunggulan bersaing diciptakan dan ditumbuhkembangkan oleh proses yang sangat lokal sifatnya (highly localised). Perbedaan dalam nilai nilai nasional, budaya dan kelembagaan ekonomi, dan perjalanan sejarahnya kesemuanya mendukung keberhasilan bersaing. Dari Asia disebutnya hanya Jepang sebagai lawan tangguh dalam "pertarungan ekonomi" dengan Eropa dan Amerika. Jepang, ternyata sebagai negara Asia memiliki keunikan dalam kerjasama tim yang melibatkan manajer dan karyawan. Kerjasama tim itu melibatkan para pensuplai industri dan pelanggan, tim yang melibatkan pelaku bisnis dan pemerintahan. Ketika awal 1970an makin jelas pilihan sektor industri apa yang menjadi primadona untuk mampu melaju memasuki masa depan: peralatan elektronik, otomotif, industri kimia, sedangkan industri yang terkait dengan yang primadona tersebut sebagai industri pendukung. Tekad meningkatkan mutu dengan hitungan harga yang efisien membuat produk produknya mencapai keunggulan dalam mutu dengan juga harga dan penyerahan tepat waktu. Dalam berproduksi, manufaktur Jepang meningkat dari "low-end ke higher end quality". Pusat pusat industri (industrial estates di Jepang ) berlokasi di luar Tokyo. Nagoya, Kobe, Kansai (pulau depan Hiroshima) sampai di sekitar Fukuoka. Keberhasilan Jepang dengan tetap menjunjung tinggi budayanya dalam membangun masyarakat industrial merupakan suatu keajaiban kawasan Asia. Keberhasilan semua itu merupakan jerih payah bangsanya yang dalam kebersamaan mewujudkan kebijakan pembangunan kembali pasca Perang Dunia kedua Jepang. Dalam perjalanan sejarah sejak 1970an dengan keberhasilannya, Jepang pun pernah mengalami resesi awal 1990an, tetapi dengan tekad bersama berupaya keluar dari resesi. Memang tampak bangsa Jepang mengalami semacam "puas diri" selama 1990an . Peranan Jepang makin tegar sebagai pemain Asia tumbuh bersama Asia Timur dalam proses integrasi kawasan perdagangan bebas Asia. Konsekuensinya adalah pengembangan "jaringan kerja" dalam pemasaran dan penelitian. Perluasan dan pendalaman (deepening) jaringan kerja ke Korea Selatan, China (Beijing, Shanghai, Dalian, Hongkong, Shenzhen), Taiwan dan kota kota besar Asia Tenggara dan sejak akhir 1990an ke India. Model peranan itu juga dituangkan dalam gaya manajemen yang unik, yakni "middle-up-down management" dalam organisasi dengan kerjasama tim lintas fungsional pada tingkat menengah, oleh Ikujiro Nonaka dari Institute of Business Researh, Hitotsubashi University, pakar manajemen Jepang, awal tahun 1995 dalam "The Knowledge-Creating Company". Gagasannya dan memperoleh tanggapan yang positif tidak hanya dikalangan Jepang sendiri tetapi sampai di Amerika dan Negara Asia juga. Disebutnya pemberdayaan manajemen mulai dari menengah untuk secara konkret memfasilitasi produktivitas manajerial dan sampai sekarang terus berkembang Penerus Koizumi, Shinzo Abe yang selama kepemimpinan Kozumi (21 April 2001 hingga 27 September 2006) sebagai tangan kanan Koizumi, kini sebagai penerus makin menunjukkan elan vitalnya dengan ketegasan ketegasan sebagaimana diperlihatkan pendahlunya. Shinzo Abe mulai menunjukkan awal yang makin jelas, yakni "identitas Jepang sebagai bagian Asia" dengan inisiatif akan mendekati Korea Selatan dan China. China dan India: makin diperhitungkan Diana Farrell, Taruna Khanna, Jayant Sinha dan Jonathan R. Woerzel dalam ulasan "China and India: The Race to growth" (McKinsey Quarterly, 2004), menunjukkan tren yang dianut kedua negara yang secara geografis dan demografis raksasa dalam memasuki masa depan. Keduanya menganut alur yang berbeda dalam mencapai kemakmuran, namun keduanya berpacu dalam mengisi abad 21. China dan India dasa warsa 1970-1980 sampai awal 1990an masih belum dianggap terlalu penting sebagai pesaing, dan bahkan belum masuk hitungan analisis banyak pengamat dunia. Baru sejak 1990an keunggulan kompetitif berkesinambungan (sustainable competitive advantage) di negara industri termasuk industri baru lebih banyak muncul dari keunggulan teknologi proses baru (new process technologies). Teknologi yang oleh para engineer dan wirausahawan dikenal sebagai "reverse engineering" akan berkembang menjadi suatu seni (art) tersendiri. Produk produk baru dengan mudah dapat di-"imitasi" dan diimprovisasi selanjutnya hingga apa yang biasanya menjadi produk utama , yaitu penemuan baru (new innovation atau new invention), menjadi nomor dua. Dengan terjadinya penyempurnaan proses proses baru, yang tadinya produk baru menjadi ketinggalan dan proses proses baru menjadi unggul Penemuan dari Barat dalam bidang teknologi informasi (mesin komputer personal, internet dan digital photo equipment) dsb setelah muncul di pasaran langsung dikembangkan oleh perusahaan Asia (Jepang, Korea, China dan beberapa negara Asia Tenggara) dengan mutu yang lebih canggih dan harga yang lebih murah/terjangkau oleh pemakai. Demikian pula dalam "piranti lunak" (software) komputer. Dalam hal "piranti lunak" India muncul sebagai pemain yang tangguh juga. Kawasan Timur/pantai China mengalami kemajuan spektakuler. China di bawah kepemimpian Deng Xiaoping sebagai negarawan China yang dikagumi dunia sejak tahun 1992 bertekad dengan menunjukkan kemampuan memobilisasi pekerja dan modal serta pendapatan per kapita tiga kali lipat dan meringankan sekitar 300 juta manusia dari kemiskinan (easing out of poverty). India sejak akhir 1990an di bawah kemempinan Manmohan Singh, Perdana Mneteri (PM), melaju dan mulai langkah awal memasuki tinggal landas (takeoff). Keunikannya adalah keduanya secara relatif masih terhitung negara berkembang (relatively poor) dihihung dengan GDP per capita dan pemerataan pendapatnnya. Baik China maupun India, masih dihadapkan dengan masalah masalah yang serius: China dan India dengan infrastruktur Sumber Daya Manusia (SDM) dan fisik di kawasan pedalaman, jalanan, air minum dan sarana listrik yang terhitung minimal (poor). Walaupun China berada dalam tahap lebih maju dibandingkan India, di pedalaman harus menapak maju dengan "gaige kaifang" (opening up and reform) dan cheng bao zhi (self responsibility system) untuk menggerakkan masyarakat tardisional di pedalaman. Tekad memecahkan NPL (Non Performing Loans) yang harus dipandu pemecahannnya oleh Bank Sentralnya (kini dapat dikatakan dengan ketegasan manajemen yang kompeten dan kredibel) NPL makin ditekan agar kedepan ganjalan ini tidak menjadi hambatan. Dengan kemajuan industrial yang dicapai bangsa China terutama di kawasan Pantai/Timur (special economic zones) , muncullah suatu kelas konsumen yang terhitung menengah ke atas yang meningkat dalam kebutuhan sebagai pasar dan menggerakkan jiwa "entrepreneurship" yang kreatif inovatif di pihak kelompok muda yang berkarya dalam industri dan perdagangan. Walaupun India mulai transformasi ekonomi satu dasa warsa setelah China, namun mutu sumber daya manusia manajerial dan teknologis lebih unggul dibandingkan China. India yang tidak mengalami campur tangan pemerintahnya (less interventionist) dalam bisnis, ternyata melaju dalam bisnis taraf internasional, yakni "industri berbasis pengetahuan", seperti piranti lunak (softwares), jasa teknologi informasi (IT services) dan farmasi yang membutuhkan mutu sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan tersendiri. Laju inovasi di India sebagaimana di kawasan teknologi Bangalore yang oleh pengamat luar dijuluki sebagai Silicon Valley nya India (Penamaan Silicon Valley awalnya sejak dekade 1980an dikenal sebagai pusat teknologi informasi Amerika). Potensi jangka panjang India dengan menyoroti sumber daya manusianya dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan China. Indonesia dapat turut bangga melihat kepeloporan Jepang, China dan India yang diikuti Korea Selatan sudah mencapai kemajuan ekonominya, dapat bersaing di pasaran dunia. Berbangga saja tidak cukup, tetapi kapan Indonesia dapat meninggalkan kemandekan sector riil dengan strategi dan visi yang riil, bukan dengan rumusan visi 2030 yang nuansanya mimpi. Peranan kepemimpinan Pemerintahan dan bisnis kita yang berani menggerakkan gaya manajemen "middle-up-down" tanpa menunda nunda dengan segala macam dalih dan tanpa setiap kali berseremoni. Artinya memberi teladan kerja cerdas dankeras tanpa banyak publisitas dan berani menghargai/apresiasi budaya produktivitas masyarakat sipil (civil society) yang dipelopori oleh kelas menengah sebagai kekuatan moral. (*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Masalah Ekonomi Studi Pembangunan Asia; Lektor Kepala di Universitas Tarumanegara, Jakarta.