Den Haag (ANTARA News) - Mantan presiden Liberia, Charles Taylor, mulai diperiksa di hadapan pengadilan yang didukung PBB di Den Haag, Senin, dengan tuduhan menghasut pembunuhan, pemerkosaan dan mutilasi dalam perang saudara di Sierra Leone. Penuntut dan pengkampanye hak asasi manusia mengharapkan kasus itu akan mengirim pesan bahwa tidak ada satu pun pemimpin, termasuk kepala negara, akan lolos dari hukuman karena kekejaman (yang mereka lakukan). Taylor, 59, mengaku tak bersalah atas 11 tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang ia hadapi di Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone itu. Sekitar 50.000 orang tewas akibat perang saudara 1991-2002 di negara Afrika barat itu. Bahkan di antara perang yang mengerikan di Afrika, pertempuran di Sierra Leone menonjol karena kekejamannya yang luar biasa -- pembunuhan tanpa alasan, pemerkosaan massal, pelukaan anggota badan warga sipil dan perekrutan paksa tentara anak seusia delapan tahun. Taylor, yang mengarahkan kekuatan di belakang kekusutan konflik di Afrika Barat, dibawa ke Den Haag karena kekhawatiran bahwa pengadilan di Freetown dapat memicu ketidakstabilan regional baru. "Kami melihat pengadilan ini sebagai pengadilan di mana kita memiliki kesempatan untuk memperoleh kebenaran -- untuk menunjukkan bagaimana orang dapat pergi untuk menuntut seorang kepala negara pada tingkat internasional dan berbuat demikian melalui cara yang dapat diterima," kata penuntut Stephen Rapp, seorang Amerika, seperti dikutip Reuters. "Beberapa dari kejahatan itu melibatkan hal yang menghebohkan yang orang dapat lakukan pada orang lainnya." Berlian Penuntut menyatakan dalam tuduhannya bahwa Taylor telah berusaha untuk menguasai kekayaan mineral Sierra Leone, khususnya tambang intannya, dan membuat tidak stabil pemerintah Freetown guna meningkatkan pengaruh regionalnya sendiri. Mereka berdalih bahwa Taylor mendukung dan mengatur pemberontak Front Persatuan Revolusioner (RUF) ketika mereka melakukan serangan teror terhadap warga sipil Sierra Leone. Penuntut mengatakan ia gagal menggunakan kekuasaannya untuk mencegah kejahatan perang dilakukan. Pembela Taylor tidak memperselisihkan horor itu, tapi mengatakan ia tidak memberi perintah pada pemberontak di Sierra Leone, memasok senjata pada pemberontak itu atau merekrut tentara anak. Mereka mengatakan pengadilan itu tidak dapat membuktikan keterlibatannya dalam periode tuduhan itu, yang mulai dari 1996, dan mengatakan hubungannya dengan RUF setelah itu melulu ditujukan untuk membawa perdamaian regional. Taylor menyerang Liberia dengan satu pasukan pemberontak pada 1989 untuk mengakhiri kediktatoran dan dipilih menjadi presiden pada 1997. Musuhnya menyusun diri kembali di luar negeri dan petempur mereka memaksanya keluar dari Monrovia pada 2003, pertama mengungsi di Nigeria. Taylor diserahkan oleh Nigeria karena tekanan internasional. Pada masa lalu, penguasa Afika yang dipecat sering meneruskan hidup mereka di pengasingan yang nyaman. Pengadilan khusus itu ditujukan untuk menyelesaikan pengadilan Taylor secara cepat dan mengharapkan akan menghindari rasa ketidakpuasan ketika bekas presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic meninggal beberapa bulan sebelum putusan dibacakan setelah pemeriksaan selama lebih dari empat tahun. (*)