Oleh Bob Widyahartono M.A. *) Jakarta (ANTARA News) - Mengapa makin mendesak perlunya pembaruan pendekatan pendidikan manajemen bisnis keluarga dan pelaksanaannya yang bukan kemewahan? Pasti, di kalangan pemilik bisnis keluarga ada yang mempertanyakan: "Apa perlunya menyadari kembali?" Praktik dalam gaya manajemen bisnis dio negeri ini ummnya telah melalui tiga tahapan perubahan. Pertama, sejak sebelum kemerdekaan sampai tahun 1970an awal mulanya gaya manajemen kalau pun ada adalah tradisional dan segalanya "diatur" oleh kepala keluarga sebagai "boss" yang mengendalikan operasinya dengan kontrol yang mempribadi tanpa serangkaian teori manajemen bisnis. Dalam perkembangan berbisnis, mereka berkenalan dengan berbagai teori dan praktik manajemen gaya Barat melalui sejumlah kursus pendek manajemen bisnis. Kedua, mulai tahun 1970an makin banyak perusahaan yang menerapkan praktik "me-manage" yang pernah mereka pelajari. Mereka menganggap dengan menerapkan untuk memperoleh efektivitas organisasi. Pada tahapan kedua ini, manajemen puncak yang terlibat menganggap manajemen sebagai praktek atau teknik dan menerima gaya Barat tanpa mempertanyakan dan tanpa memodifikasi dalam organisasi masing masing. Dalam tahapan tersebut demi mengejar hasil (output), maka kebanyakan organisasi bisnis keluarga belum banyak berinteraksi keluar negeri dengan memperlajari dan meyaksikan bagaimana bisnis di negara tetangga memberdayakan kompetensi manajerial dengan identitas masing masingnya. Ketiga, sejak tahun akhir 1980an banyak bisnis menyadari bahwa manajemen tidaklah "universal" gaya Barat/Amerika Serikat (AS) sebagai teknik/rasional melulu. Bagi masyarakat negeri ini dan masyarakat Asia gaya manajemen akan tetap mempertahankan identitas "Asia", karena ternyata ketrampilan manajemen akan menjadi efektif ketika bisnis memadukan (integrate) sejumlah nilai dalam suatu teknologi dengan apa yang memangnya merupakan identitas pribadi manusia sebagai pelaku dalam manajemen bisnis. Kebanyakan praktik manajemen baru yang berkembang sejak tahun 1990an diperkenalkan oleh manajer manajer muda yang direstui oleh manajemen puncak mereka. Praktik manajemen yang berbeda dilekati nilai nilai filosofi dan manusia. Pembelajaran bagi bisnis makin menjadi budaya perusahaan, meskipun hasilnya merupakan proses yang tidak instan sifatnya. Apakah pendidikan bisnis itu senantiasa formal? Yang formal itu termasuk pendidikan melalui sekolah (school education) dan sejumlah program jangka panjang yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga pendidikan baik yang pemerintah maupun swasta. Dalam metode yang non-formal mencakup konperensi singkat waktu (short-term), serangkaian seminar dan diskusi kelompok berstudi kasus. Pendidikan merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Karena kita makin memasuki eranya masyarakat pengetahuan (knowledge society), maka pendidikan haruslah menunjang kegiatan inovatif dan kreativitas, dua ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam masyarakat pengetahuan. Pendidikan bukan "penjejalan" oleh guru/dosen dan bukan pula hafalan dengan berbagai sejumlah test "multiple choice" menurut selera guru/dosen. Masyarakat pengetahuan menciptakan kemakmuran dari sumber daya masyarakat yang paling utama: pikiran manusia (human mind). Pikiran manusia memiliki daya kreativitas tanpa batas yang tidak mungkin dihampakan secara paksa (depleted). Makin banyak pikiran dipakai makin berdayalah pikiran manusia. Disini berlaku pepatah yang pernah diungkapkan oleh Presiden Kennedy: "The human mind is the fundamental resource". Nobuyuki Idei, CEO (Direktur Utama) Sony Corporation Jepang dalam "A Common Responsibility to Promote Stability and Growth" (2002), menekankan bahwa sikap dan sifat dasar bagi keberhasilan bisnis dan masyarakat secara keseluruhan adalah pembelajaran yang berkesinambungan. Pendidikan merupakan proses yang tiada hentinya, apalagi dengan kecepatan perubahan yang terjadi dalam lingkungan dan yang disebutnya "revolusi pengetahuan" yang pada gilirannya memberdayakan setiap individu untuk mampu memilih keluberan informasi. Disebutnya bahwa mengajar anak didik sejak umur sedini mungkin bagaimana "berpikir di luar kotak pola pikir yang serba standar" (think outside the box), agar memiliki ketrampilan pemikiran kritis dan kemampuan untuk mentransformasikan informasi yang beraneka ragam (disparate) menjadi pengetahuan yang bermakna. Sejak dini, anak-anak harus juga belajar untuk mampu merumuskan berbagai gagasan mereka yang unik yang bisa saja kemudiannya merupakan suatu kecemerlangan. Pasti tidak hanya anak-anak sejak umur sedini mungkin yang harus terus belajar dengan perasaan senang dan menikmatinya, tetapi juga yang sudah berusia lanjut yang masih merasa bisa kreatif harus kembali belajar hal hal baru termasuk belajar memanfaatkan berbagai teknologi seperti Internet untuk membangun jaringan kerja (networking). Melalui berjaringan kerja ini setiap individu memperoleh perspektif baru yang berarti tidak terpaku pada gagasan gagasan yang sudah terpatri dalam benak pikiran. Esensi strategi manajemen dewasa ini makin nyata adalah dalam penciptaan pengetahuan organisasi dan bukan individual melulu. Artinya, dalam berjaringan kerja dan kerja tim (networking and teamwork), setiap anggota dalam organisasi makin merasa diri bermakna dan bernilai dalam membuat manajemen mencapai keberhasilan dan kepuasan dalam melayani masyarakat pelanggan dan konsumen. Dalam era interdependensi tantangan tanggung jawab setiap organisasi perusahaan makin besar dari sudut pandang kemanusiaan (humanitarian point of view) sebagai warga dunia yang dituntut makin "humane" dalam interaksi bisnis dan sosial. China dan kawasan Asia Timur khususnya mengejar ketertinggalan dalam metode belajar yang lebih membawa pola pikir peserta didiknya ke arah yang lebih menghargai berbagai nilai tanpa menanggalkan kreativitas dan kompetensi professionalnya. Inilah yang patut menjadi strategi pendidikan, terutama pendidikan berbisnis, dewasa ini maupun ke masa depan. (*) *) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi/Bisnis Asia, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) di Jakarta.