Suku Bajo pertahankan kedo-kedo untuk tangkap ikan
10 April 2017 18:44 WIB
Ketua Kelompok Nelayan Kedo-kedo Sanggeh Kami Hartono (kanan) di Unit Penampungan Ikan dan Lobster Hidup di perairan Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Senin (10/4). Kelompok Nelayan Sanggeh Kami menggunakan kearifan lokal dengan alat tangkap kedo-kedo yang ramah lingkungan untuk menangkap ikan karang yang diekspor hingga ke Hong Kong. (ANTARA/Virna P Setyorini)
Wakatobi (ANTARA News) - Nelayan Suku Bajo di Desa Mola, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mempertahankan kearifan lokal menggunakan "kedo-kedo" yang merupakan cara menangkap ikan ramah lingkungan.
"Alat pancing ini dipakai sejak jaman kakek-nenek kami dulu, bahannya dari benang sutra, marlo, dan benang emas. Ini ramah lingkungan, kami pakai untuk menangkap ikan di wilayah karang," kata Ketua Kelompok Nelayan Kedo-kedo Sanggeh Kami Hartono (45) kepada sejumlah wartawan dalam Media Trip Pengenalan Aplikasi Marine Buddies dan Kampanye #TemanTamanLaut di Taman Nasional Wakatobi bersama WWF Indonesia di Wakatobi, Senin.
Kedo-kedo yang aslinya menggunakan serabut kelapa, menurut Hartono, mulai sedikit demi sedikit menghilang pada tahun 1960-an, dan semakin menghilang pada 1989 saat cara-cara tidak ramah lingkungan seperti pengeboman, penggunaan potasiun, dan kompresor digunakan untuk menangkap ikan.
Saat ini tinggal satu kelompok Suku Bajo yang terdiri atas 14 nelayan yang masih berkaitan saudara di Mola yang mempertahankan kedo-kedo untuk menangkap ikan-ikan karang seperti sunu merah atau tung sing, ikan putih, sunu hitam, moraba, kakap hingga barakuda.
Dengan cara tangkap ini, menurut dia, penghasilan bersih yang diperoleh cukup lumayan bisa mencapai Rp40 juta hingga Rp50 juta per tahun atau sekitar Rp4 juta per bulan.
Pendapatan ini, katanya, sebenarnya mengalami penurunan jika dibanding 2010 sebagai dampak dari penggunaan kompresor dan potasiun yang dilakukan untuk menangkap ikan. Jika sebelum 2010 per hari bisa mendapat hingga empat ekor ikan dengan ukuran hingga enam kilogram (kg) per ekor kini maksimal hanya mendapat dua ekor saja yang dihargai antara Rp110.000 hingga Rp195.000 per kg sesuai jenis ikan.
Fasilitator WWF Indonesia di Wangi-wangi sekaligus pendampingan di Kelompok Sanggeh Kami Samran mengatakan kondisi saat ini memang sulit untuk mengajak nelayan Bajo lainnya untuk ikut bergabung dalam kelompok ini.
Padahal, menurut Samran, ada manfaat dengan ikut dalam kelompok kepastian untuk melaut karena bahan bakar dan alat tangkap tersedia saat kondisi keuangan belum ada tetapi mereka tetap bisa menangkap ikan. Keuntungan lain dengan ikut dalam kelompok mereka akan mendapat posisi tawar untuk penetapan harga ikan dari pengepul.
"Karenanya kita coba dekati lagi ke mereka. Sejauh ini ada empat kelompok yang terbentuk dengan berbagai jumlah anggota, dan mereka menggunakan cara-cara ramah lingkungan untuk menangkap ikan," ujar dia.
Kelompok-kelompok tersebut, antara lain, Kelompok Sanggeh Kami, Kelompok Mitra Sunu, Kelompok Tuna Bersinar didampingi WFF Indonesia, dan Forum Nelayan pada Kauang Sama yang didampingi Balai Taman Nasional Wakatobi.
Selain Kedo-kedo, juga ada cara tangkap yang merupakan kearifan lokal yang ramah lingkungan seperti nonoke, ulur-ulur, dan mbuang-mbuang.
"Alat pancing ini dipakai sejak jaman kakek-nenek kami dulu, bahannya dari benang sutra, marlo, dan benang emas. Ini ramah lingkungan, kami pakai untuk menangkap ikan di wilayah karang," kata Ketua Kelompok Nelayan Kedo-kedo Sanggeh Kami Hartono (45) kepada sejumlah wartawan dalam Media Trip Pengenalan Aplikasi Marine Buddies dan Kampanye #TemanTamanLaut di Taman Nasional Wakatobi bersama WWF Indonesia di Wakatobi, Senin.
Kedo-kedo yang aslinya menggunakan serabut kelapa, menurut Hartono, mulai sedikit demi sedikit menghilang pada tahun 1960-an, dan semakin menghilang pada 1989 saat cara-cara tidak ramah lingkungan seperti pengeboman, penggunaan potasiun, dan kompresor digunakan untuk menangkap ikan.
Saat ini tinggal satu kelompok Suku Bajo yang terdiri atas 14 nelayan yang masih berkaitan saudara di Mola yang mempertahankan kedo-kedo untuk menangkap ikan-ikan karang seperti sunu merah atau tung sing, ikan putih, sunu hitam, moraba, kakap hingga barakuda.
Dengan cara tangkap ini, menurut dia, penghasilan bersih yang diperoleh cukup lumayan bisa mencapai Rp40 juta hingga Rp50 juta per tahun atau sekitar Rp4 juta per bulan.
Pendapatan ini, katanya, sebenarnya mengalami penurunan jika dibanding 2010 sebagai dampak dari penggunaan kompresor dan potasiun yang dilakukan untuk menangkap ikan. Jika sebelum 2010 per hari bisa mendapat hingga empat ekor ikan dengan ukuran hingga enam kilogram (kg) per ekor kini maksimal hanya mendapat dua ekor saja yang dihargai antara Rp110.000 hingga Rp195.000 per kg sesuai jenis ikan.
Fasilitator WWF Indonesia di Wangi-wangi sekaligus pendampingan di Kelompok Sanggeh Kami Samran mengatakan kondisi saat ini memang sulit untuk mengajak nelayan Bajo lainnya untuk ikut bergabung dalam kelompok ini.
Padahal, menurut Samran, ada manfaat dengan ikut dalam kelompok kepastian untuk melaut karena bahan bakar dan alat tangkap tersedia saat kondisi keuangan belum ada tetapi mereka tetap bisa menangkap ikan. Keuntungan lain dengan ikut dalam kelompok mereka akan mendapat posisi tawar untuk penetapan harga ikan dari pengepul.
"Karenanya kita coba dekati lagi ke mereka. Sejauh ini ada empat kelompok yang terbentuk dengan berbagai jumlah anggota, dan mereka menggunakan cara-cara ramah lingkungan untuk menangkap ikan," ujar dia.
Kelompok-kelompok tersebut, antara lain, Kelompok Sanggeh Kami, Kelompok Mitra Sunu, Kelompok Tuna Bersinar didampingi WFF Indonesia, dan Forum Nelayan pada Kauang Sama yang didampingi Balai Taman Nasional Wakatobi.
Selain Kedo-kedo, juga ada cara tangkap yang merupakan kearifan lokal yang ramah lingkungan seperti nonoke, ulur-ulur, dan mbuang-mbuang.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017
Tags: