Pontianak (ANTARA) - Di balik pesona Pulau Kalimantan yang dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia, terdapat ekosistem yang memainkan peran vital dalam menjaga dan mengendalikan keseimbangan habitat lahan basah, bernama kubah gambut.

Kubah gambut adalah areal kesatuan hidrologis gambut yang mempunyai topografi atau relief yang lebih tinggi dari wilayah sekitarnya, sehingga secara alami mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air lebih banyak, serta menyuplai air pada wilayah sekitarnya.

Kubah gambut masuk dalam kawasan lindung yang memainkan peran luar biasa dalam menyerap air hujan, mencegah banjir, bahkan menyimpan karbon, sekaligus mengurangi jejak gas rumah kaca yang mempengaruhi iklim global.

Akademisi Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat, Rossie Wiedya Nusantara, menilai perlindungan kubah gambut masih butuh keseriusan para pihak untuk pengelolaan, mengingat peran pentingnya dalam ekosistem.

"Melindungi kubah gambut adalah kewajiban karena jika tanah gambut rusak maka bukan tanahnya saja yang rusak tapi juga lingkungannya," katanya di Pontianak, akhir pekan lalu.

Di Provinsi Kalimantan Barat, luas lahan gambut mencapai 1,79 juta hektare dan salah satu areal gambut terluas terdapat di Kabupaten Kubu Raya mencapai 202 ribu hektare.

Ekosistem itu menjadi tempat tinggal bagi beragam flora dan fauna unik yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan alam. Sejumlah kawasan itu juga telah dimanfaatkan warga untuk lahan budi daya pertanian.

Sebagai ekosistem unik, namun rapuh, peran kubah gambut sebagai pengatur hidrologi dapat terganggu apabila mengalami kondisi drainase yang berlebihan, karena material itu memiliki sifat kering tak balik, porositas yang tinggi, dan daya hantar vertikal yang rendah.

Gambut yang telah mengalami kekeringan sampai batas kering tak balik akan memiliki bobot isi yang sangat ringan, sehingga mudah hanyut terbawa air hujan, strukturnya lepas-lepas, seperti lembaran serasah, mudah terbakar, sulit menyerap air kembali, dan sulit ditanami kembali.

"Lahan gambut yang mengalami kerusakan ini bisa terkena api, maka dampaknya sangat luas. Kebakaran gambut terakhir tahun 2021 mencapai 13 ribu hektare, karena itu restorasi sangat penting untuk mencegah bencana lebih besar," katanya.


Sumber plasma nutfah

Keanekaragaman hayati yang hidup di lahan gambut merupakan sumber plasma nutfah yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat varietas atau jenis flora dan fauna komersial, sehingga diperoleh komoditas yang tahan penyakit, berproduksi tinggi atau sifat-sifat menguntungkan lainnya.

Dosen Prodi Budidaya Tanaman Perkebunan Politeknik Negeri Pontianak Tri Tiana Ahmadi Putri mengatakan sifatnya yang unik menjadikan gambut merupakan habitat unik bagi kehidupan beraneka macam flora dan fauna.

Beberapa jenis tumbuhan yang teridentifikasi hidup dengan baik di lahan gambut, sehingga jika lahan ini mengalami kerusakan, dunia akan kehilangan beraneka macam jenis flora, antara lain jelutung (Dyera custulata), ramin (Gonystylus bancanus), dan meranti (Shorea sp.), kempas (Koompassia malaccensis), punak (Tetramerista glabra), perepat (Combretocarpus royundatus), pulai rawa (Alstonia pneumatophora), terentang (Campnosperma sp.), bungur (Lagestroemia spesiosa) dan nyatoh (Palaquium sp).

Sementara satwa langka pada habitat ini, antara lain buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), mentok rimba (Cairina scutulata), dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), yang merupakan salah satu spesies burung air yang dilindungi, dan terdaftar dalam Appendix 1 CITES, serta masuk dalam kategori Vulnerable dalam Red Databook IUCN.

Plasma nutfah ini memiliki nilai dan peran penting dalam menjaga keanekaragaman hayati, sekaligus memastikan keberlanjutan ekosistem gambut.

Gambut juga berperan sebagai penjaga iklim global, di mana perubahan iklim merupakan fenomena global yang ditandai dengan berubahnya suhu dan distribusi curah hujan.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Barat Florentinus Anum mengatakan sejumlah plasma nutfah yang dikembangkan untuk mendukung pendapatan masyarakat yang mengelola lahan gambut, antara lain jenis padi dan umbi-umbian.

Seluas 600 ribu hektare areal gambut di Kalbar layak dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar ekosistem gambut, dengan menanam padi dan berbagai jenis tanaman hortikultura.

Dinas itu terus mengembangkan bibit tanaman yang sesuai untuk ditanam di lahan gambut, guna menghindari pembakaran lahan. Saat ini, tanaman, seperti lidah buaya, pepaya, dan beberapa jenis umbi-umbian, sudah terbukti cocok untuk ditanam di lahan gambut.

Tanaman umbi-umbian, seperti singkong sedang dikembangkan di Kabupaten Kapuas Hulu, dengan perkiraan hasil 20 hingga 30 kilogram per pohon, pada umur tanaman delapan bulan. Penanaman singkong di lahan gambut itu diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mencegah pembakaran lahan di masa yang akan datang.
 
Lembaga Gemawan melatih 25 orang petani dari 5 desa di Kabupaten Kayong Utara dalam sekolah lapangan petani di lahan gambut, sebagai upaya menjaga kelestarian lahan gambut di Kalimantan Barat. ANTARA/Rendra Oxtora/am.


Restorasi gambut

Pembukaan lahan gambut yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan membuat ancaman kerusakan berpeluang terus terjadi. Dari seluas 1,7 juta hektare areal gambut di Kalimantan Barat, 40 persen dalam kondisi rusak.

Deputi III Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Myrna A Safitri mengatakan salah satu ekosistem gambut yang menjadi fokus restorasi terdapat di Kabupaten Kubu Raya karena gambut di wilayah itu tidak hanya ada di desa-desa, namun juga di daerah perkotaan, dengan kedalaman yang bervariasi.

Dalam catatan BRGM, ada 11 Kawasan Hutan Gambut (KHG), termasuk KHG Batu Ampar 1 dan 2, KHG Kuala Mandor, KHG Kubu, dan lainnya.

Selain itu, terdapat 26 desa yang diberikan hak pengelolaan hutan desa (HPHD) melalui skema Perhutanan Sosial (PS) periode 2017 hingga 2019, tersebar di 6 kecamatan, dengan luas total 121.863 hektare.

Restorasi gambut di Kubu Raya menyasar 127.784 hektare yang mengalami degradasi. Faktor penyebabnya, termasuk alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit, kebakaran hutan, penebangan liar, dan kegiatan pertambangan yang merusak.

Dampak degradasi gambut itu sudah dirasakan masyarakat, mulai dari terjadinya banjir saat musim hujan dan kabut asap akibat kebakaran gambut saat kemarau, yang melepas emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada krisis iklim.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalimantan Barat Adi Yani mengatakan peran penting lahan gambut sebagai pengendali ekosistem penting dijawab untuk menghindari bencana, seperti kebakaran hutan dan lahan serta banjir.

Saat ini DLHK Kalimantan Barat bekerja sama dengan "The Center for International Forestry Research and World Agroforestry" (CIFOR-ICRAF) sedang mengidentifikasi isu-isu strategis dan mempersiapkan data pengelolaan fungsi ekosistem gambut dalam penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Provinsi Kalimantan Barat.

Kolaborasi ini akan menghasilkan dokumen RPPEG sebagai landasan dan dasar hukum untuk pengelolaan gambut yang efektif, mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai dasar strategi dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan.

Dalam menangani isu ekonomi, ditekankan mengenai pentingnya memperhatikan perekonomian masyarakat di wilayah gambut serta menjaga prinsip pengelolaan gambut yang berkelanjutan.

Keterlibatan pelaku usaha, terutama perusahaan perkebunan sawit dan tambang, juga menjadi fokus dalam pembuatan RPPEG. Mereka diminta untuk membuat dokumen yang mempertimbangkan kondisi gambut di area mereka dan berkolaborasi dengan masyarakat setempat.

Koordinator Peat-IMPACT Kalimantan Barat, ICRAF Indonesia, Happy Hendrawan berharap kolaborasi para pihak ini dapat mendukung konservasi lahan gambut di Kalimantan Barat dengan efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat setempat dan mengurangi risiko bencana lingkungan di masa mendatang.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024