Ahli: ada maksud Ahok singgung Al-Maidah 51
13 Februari 2017 21:25 WIB
Koordinator Ahli Tata Bahasa Neno Warisman (kiri) bersama bersama Ahli Tata Bahasa Universitas Mataram Mahyuni (kanan) berjalan seusai mengikuti sidang kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (13/2/2017).(ANTARA /Muhammad Adimaja)
Jakarta (ANTARA News) - Ahli Bahasa Indonesia dari Universitas Mataram Mahyuni dalam sidang kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyatakan Ahok pasti mempunyai maksud dengan menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 saat pidato di Kepulauan Seribu.
"Tidak mungkin tidak punya maksud menyampaikan sesuatu karena dalam setiap ujaran yang diutarakan pasti ada maksud dan pasti terpikirkan," kata Mahyuni saat memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang kasus Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin.
Menurut Mahyuni, sebelum berucap pasti seseorang akan memikirkan kata-katanya terlebih dahulu.
"Ahok yang merupakan seorang figur pasti memikirkan kata-kata sebelum berucap," ucap Mahyuni.
Dalam persidangan, Mahyuni pun tetap menegaskan bahwa ucapan Ahok yang menyebut kata "dibohongi" maupun "dibodohi" mengandung makna negatif.
"Itu keyakinan saya karena saya kan ahlinya," kata Mahyuni yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
JPU dijadwalkan menghadirkan empat ahli antara lain ahli Agama Islam Muhammad Amin Suma, ahli Bahasa Indonesia Mahyuni dan dua ahli hukum pidana, yaitu Mudzakkir dan Abdul Chair Ramadhan.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif, yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
"Tidak mungkin tidak punya maksud menyampaikan sesuatu karena dalam setiap ujaran yang diutarakan pasti ada maksud dan pasti terpikirkan," kata Mahyuni saat memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang kasus Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin.
Menurut Mahyuni, sebelum berucap pasti seseorang akan memikirkan kata-katanya terlebih dahulu.
"Ahok yang merupakan seorang figur pasti memikirkan kata-kata sebelum berucap," ucap Mahyuni.
Dalam persidangan, Mahyuni pun tetap menegaskan bahwa ucapan Ahok yang menyebut kata "dibohongi" maupun "dibodohi" mengandung makna negatif.
"Itu keyakinan saya karena saya kan ahlinya," kata Mahyuni yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
JPU dijadwalkan menghadirkan empat ahli antara lain ahli Agama Islam Muhammad Amin Suma, ahli Bahasa Indonesia Mahyuni dan dua ahli hukum pidana, yaitu Mudzakkir dan Abdul Chair Ramadhan.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif, yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017
Tags: