Jakarta (ANTARA News) - Panitia Kerja (Panja) Pemasaran dan Destinasi Pariwisata Komisi X DPR mengatakan kegiatan branding yang dilakukan pemerintah seperti “Pesona Indonesia dan Wonderful Indonesia” sudah baik dalam memberikan kesadaran (awarness) pada pasar namun belum mendatangkan wisatawan mancanegara yang sebanding dengan negara-negara pesaing utama seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura.

“Perubahan perbandingan rasio antara branding, advertising, dan selling pun mengundang berbagai pertanyaan karena belum ada bukti empiris keberhasilan strategi promosi melalui strategi promosi kecuali baru sebatas pengenalan (brand recognition) belum sampai tahapan brand recall apalagi top of mind,” kata Ketua Panja Pemasaran dan Destinasi Pariwisata, sekaligus Wakil Ketua Komisi X DPR Utut Adianto saat menyerahkan laporan hasil kerjanya selama 5 bulan lebih kepada Menteri Pariwisata Arief Yahya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (6/10).

Utut menjelaskan, promosi yang dilakukan melalui kontrak kerjasama dengan saluran televisi CNN, Fox Channels dan lain-lain belum berhasil sepenuhnya.

Efektivitas tayangan promosi pesona Indonesia melalui media tersebut menempatkan pariwisata Indonesia pada posisi ke-6 top of mind dan posisi ke-7 untuk top of recall.

Utut menilai belum terlihat perencanaan ataupun standar yang meliputi mekanisme, konten, kriteria narasumber, kriteria penjual dari Indonesia, dan kriteria pembeli mancanegara dalam promosi penjualan.

Petunjuk teknis penyelenggaraan penjualan belum terlihat secara jelas sasaran yang diharapkan.

“Para pemangku kepentingan industri pariwisata perlu lebih intens diajak berpartisipasi dalam memasarkan produk wisata Indonesia dengan persiapan dan perencanaan yang matang. Kemitraan antara Pemerintah dengan swasta seharusnya berkesinambungan dimana fungsi Pemerintah sebagai kementerian klaster C adalah sebagai fasilitator,” jelas Utut.

Politisi F-PDI Perjuangan itu menilai penetapan target Pemerintah untuk tahun 2019 terhadap indikator kontribusi PDB nasional sebesar 15 persen, devisa sebesar Rp280 triliun, jumlah tenaga kerja 13 juta orang, indeks daya saing (WEF) peringkat ke-30, dan jumlah kunjungan wisman sebanyak 20 juta merupakan sebuah langkah yang tidak didukung dengan kajian dan data empiris.

“Target kunjungan wisman sebanyak 20 juta pada tahun 2019 sudah tentu membutuhkan pelaku wisatawan yang kompeten, kesadaran wisata, memenuhi kualifikasi baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Dan yang tak kalah penting adalah kesiapan masyarakat setempat dan pemerintah daerah,” tegas Utut.

Terhadap berbagai hal itu, Panja merekomendasikan Kementerian Pariwisata RI agar lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan pariwisata terkait dengan beberapa bidang strategis, antara lain bidang pelayanan kepabeanan, keimigrasian, dan karantina, bidang keamanan dan ketertiban, hingga bidang prasarana umum yang mencakupi jalan, air bersih, listrik, bahan bakar minyak/solar (BBM), telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan.

“Program promosi pengembangan pariwisata harus mengacu pada peta jalan, dan didukung dengan kesiapan sumber daya manusia, kesadaran masyarakat atas sadar wisata, perlindungan kearifan lokal dan lingkungan hidup atas adanya kegiatan wisata,” kata politisi asal dapil Jawa Tengah itu.

Selain itu, perlu penguatan program kualifikasi dan sertifikasi sumber daya manusia kepariwisataan dengan melakukan pembinaan dan kerjasama serta sinergi dengan Kemendikbud RI dan/atau Kemenristek RI.

Panja dibentuk pada 13 April 2016 telah melakukan serangkaian kegiatan dalam rangka mengkaji dan mengidentifikasi berbagai permasalahan pada pariwisata Indonesia.

Panja telah mengadakan beberapa rapat internal, rapat dengar pendapat (RDP) dengan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap dunia pariwisata. Di antaranya, para Deputi di lingkungan Kementerian Pariwisata, BPS, Sekolah Tinggi Pariwisata, perwakilan Maskapai Penerbangan, hingga beberapa Bupati.

RDP juga digelar dengan pelaku usaha pariwisata, Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia, Badan Promosi Pariwisata Indonesia, hingga Asosiasi Kawasan Pariwisata Indonesia. Panja juga melakukan kunjungan spesifik ke beberapa daerah.

“Argumentasi yang digunakan Kemenpar RI adalah bahwa nilai investasi strategi pemasaran baru terwujud (return) tiga tahun kemudian. Penerapan kebijakan dengan menggunakan strategi pemasaran (DOT), strategi promosi (BAS), strategi media (POSE), dan rentang waktu promosi (POP), memerlukan kajian lebih lanjut dari sisi rasionalitas, efektifitas, dan proporsionalitas, serta perlu alat uji ukur keberhasilannya,” kata Utut.