Bahaya laten adalah frasa (yang dalam ilmu bahasa dimaknai sebagai gabungan dua atau lebih kata yang tak mengandung predikat) paling kerap dilontarkan elite politik pada era Orde Baru.
Frasa itu masih punya saudara kembar atau sekutu yang ketiga, yakni komunis. Jadilah sejenis jargon triumvirat: bahaya laten komunis.
Meskipun komunisme sebagai kekuatan ideologi global sudah bangkrut yang ditandai dengan tumbangnya rezim komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, penguasa Orde Baru pada masanya masih gemar menggembar-gemborkan bahaya laten komunis.
Bahaya laten, seperti diuraikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bahaya yang tersembunyi, terpendam, tidak kelihatan, tetapi mempunyai potensi untuk muncul. Contoh yang disajikan KBBI adalah: Kita harus waspada terhadap bahaya laten komunis.
Dari cetakan sebelum era Reformasi hingga cetakan terakhir yang diluncurkan setelah zaman pasca-Orba, contohnya masih sama. Tampaknya KBBI mantap betul dalam melanggengkan alam pikiran penguasa zaman ketika militer diberi ruang untuk malang melintang dalam kancah politik itu.
Akhir-akhir ini, lontaran tentang bahaya laten komunis mencuat kembali dalam wacana politik di Tanah Air. Pemicunya, antara lain, berupa maraknya kegairahan anak-anak muda dan aktivis yang menyelenggarakan diskusi-diskusi tentang gerakan kiri, pengadilan hak asasi manusia atas tragedi 1965.
Perang wacana perihal bahaya laten komunis tidak perlu dirisaukan. Sejauh itu berada di tataran perdebatan, perbincangan yang tak disertai aksi fisik kriminal atau aksi polisional yang memberangus kemerdekaan berekspresi tidak ada yang harus dicemaskan.
Era Reformasi ini memang penuh berkah. Jauh beda secara substansial maupun formal daripada era sebelumnya. Kenapa? Karena tanggapan terhadap wacana bahaya laten komunis saat ini mendapat komentar yang warna-warni, silang pendapat di kalangan elite politik yang sedang menduduki posisi kelembagaan negara sekali pun!
Salah satunya adalah tanggapan yang mencuat dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Zulkifli Hasan yang juga bos Partai Amanat Nasional (PAN).
Mengomentari keresahan sejumlah pihak yang mengidap paranoia atas beredarnya ikon palu arit di Tanah Air belakangan ini, Zulkifli dengan nada enteng mengatakan bahwa di Eropa ikon komunisme itu cuma jadi suvenir para turis.
Komentar Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pun tentang wacana bahaya laten komunis itu tidak jauh beda dengan apa yang dikemukakan Ketua MPR. Sama-sama tak menganggap terlampau serius. Ancaman yang paling serius saat ini, ya, kemiskinan, kebodohan, korupsi, dusta politik, dan sejenisnya.
Sesungguhnya, bahaya laten, jika ada orang yang percaya tentang bahaya semacam ini, tidak cuma diterapkan pada era ketika komunisme diberi ruang hidup dalam jagat politik di Tanah Air. Publik bisa pula menerapkan pada era Orde Baru. Jadi, bolehlah disebut bahaya laten Orde Baru.
Pengalaman tiga dekade politik Indonesia di bawah Orde Baru sungguh menindas. Begitu beberapa pekan setelah rezim Orde Baru tumbang, pengamat politik dari Universitas Indonesia Eep Syaifilloh Fatah mengatakan bahwa warisan politik Soeharto luar biasa parah.
Soeharto merujuk pada presiden yang berkuasa selama 33 tahun pada masa Orde Baru dan merupakan dalang prima tegaknya orde yang membolehkan tentara mengemban kekuasaan politik.
Kenapa publik perlu mengingatkan dirinya akan bahaya laten Orde Baru? Argumennya begini: pengalaman traumatis pada masa Orde Baru dan era ketika komunisme berjaya di Tanah Air boleh dikata serupa secara esensial meski formatnya mungkin berbeda.
Keduanya, tak menghendaki nilai-nilai demokrasi hidup dalam perpolitikan bangsa. Sama-sama suka membungkam, bahkan melenyapkan kemerdekaan berekspresi dan berserikat.
Fakta sejarah berbicara: ancaman ganyang-mengganyang, fitnah-memfitnah pernah menguasai wacana politik era sebelum Orba dan fenomena pelenyapan aktivis politik pada era Orde Baru tak terbantah.
Orde Baru adalah rezim antiintelektualisme. Buku-buku berharga yang dihormati dan digadang-gadang menerima hadiah paling bergengsi di ranah sastra dunia seperti tetralogi Pramoedya Ananta Toer malah dilarang dibaca oleh masyarakat. Rezim ini melakukan pembodohan besar-besaran. Rakyat pada masa itu dicuci otaknya sampai-sampai tidak sedikit yang meyakini bahwa orang Indonesia itu punya gen yang lain daripada yang lain sehingga ideologi yang paling cocok hanyalah ideologi yang dikehendaki penguasa saat itu.
Beruntunglah rezim yang korup itu sudah tumbang. Segala hal yang korup pada era itu perlu terus dicegah untuk dibangkitkan kembali. Dengan mengingatkan warga tentang dua jenis bahaya laten itu, publik akan sadar bahwa militerisme pun merupakan sebuah bahaya yang harus diwaspadai.
Namun, jika hendak berpikir rasional kontekstual, publik tak perlulah membuang-buang energi untuk berwacana tentang bahaya laten. Konsentrasi perlu diarahkan pada bahaya riil korupsi.
Upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan merevisi pasal-pasal undang-undang dengan tujuan mengurangi kewenangan lembaga pemberantas rasuah di negeri ini jauh lebih mendesak.
Pemberantasan korupsi akan berefek secara langsung dalam peri kehidupan masyarakat secara multidimensional. Perbaikan layanan pendidikan, kesehatan yang menjangkau sebanyak mungkin masyarakat paling membutuhkan akan terwujud hanya jika tersedia anggaran negara yang tak terkorup oleh para tikus dari beragam ideologi, kanan maupun kiri.
Bahaya laten versus riil
21 Mei 2016 09:44 WIB
Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal, di Kodim 0712 Tegal, Jawa Tengah, Rabu (11/5/2016). (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)
Oleh M.Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016
Tags: