Keberanian konsumen mengeluh masih rendah
12 Mei 2015 20:02 WIB
Hari Konsumen Nasional Menteri Perdagangan Rachmat Gobel memberikan sambutan pada puncak peringatan Hari Konsumen Nasional di Silang Monas, Jakarta, Selasa, (12/5). (Kemendag.go.id)
Jakarta (ANTARA News) - Tingkat keberanian konsumen di dalam negeri untuk mengeluh dan menuntut haknya masih rendah, yang terlihat dari Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) hanya sebesar 11.96.
"Yang berani untuk menuntut haknya baru 11.96, itu masuk kriteria yang masih rendah," kata Direktur Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Widodo, seusai menghadiri acara puncak Hari Konsumen Nasional 2015 di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan, perhitungan IKK tersebut dilakukan terhadap 600 responden yang terdiri dari 297 orang perempuan dan 303 laki-laki, dengan pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) hingga bergelar doktor (S3) dan berpenghasilan mulai dari Rp200.000-Rp200 juta per bulan.
"IKK perilaku komplain yang masih rendah tersebut, ada pada tahapan pasca pembelian. Setelah barang yang dibeli sampai di rumah, ditemukan cacat tersembunyi, rusak, atau lain-lain, namun para konsumen enggan untuk menuntut haknya kepada para pelaku usaha," ujarnya.
Widodo menjelaskan, keengganan dari konsumen untuk menuntut haknya tersebut sebagian besar diakibatkan karena para konsumen menganggap bahwa untuk menuntut hak atas barang yang telah dibeli itu memakan waktu lama dan karena harga yang murah.
"Namun jika harga barangnya mahal, maka mereka akan terus menuntut haknya," katanya.
Sebagai langkah awal, dilakukan survei di empat kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan. IKK di Jakarta sebesar 43.22, Surabaya 38.74, Medan 38.56, dan Makassar 36.02 sehingga indeks gabungan dari empat kota tersebut sebesar 39.14 dari angka maksimum sebesar 100.
Ukuran IKK tersebut meliputi tingkat sadar, paham, mampu, kritis, dan berdaya. Berdasarkan hasil survei pada tahap pertama, konsumen Indonesia mencapai tingkat paham. Sementara survei pada tahap kedua akan dilanjutkan di daerah lainnya, termasuk daerah pedesaan.
Ke depan, lanjut Widodo, pihaknya akan berupaya untuk meningkatkan tingkat IKK ke taraf mampu yaitu para konsumen mampu menggunakan hak dan kewajiban untuk menentukan pilihan terbaik, termasuk menggunakan produk dalam negeri bagi diri dan lingkungannya.
"Untuk mengubah angka tersebut, lima tahun itu harus ada peningkatan koordinasi dengan instansi terkait, dan berkomitmen untuk meningkatkan edukasi kepada konsumen," ujarnya.
Menurut dia, peningkatan IKK dari taraf paham menjadi mampu, maka dalam lima tahun ke depan masyarakat Indonesia diharapkan mengutamakan produk buatan dalam negeri dan mampu menentukan produk yang berkualitas, serta mampu memperjuangkan haknya.
Kemendag merancang IKK yang merupakan indeks untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen terhadap hak dan kewajibannya, serta kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan pasar.
Saat ini pemerintah masih berupaya meningkatkan jumlah dan penguatan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pemerintah menarget pada 2019 terbentuk 200 BPSK di Indonesia. Saat ini baru ada 78 BPSK yang beroperasi dari 166 BPSK yang terbentuk di Indonesia.
"Yang berani untuk menuntut haknya baru 11.96, itu masuk kriteria yang masih rendah," kata Direktur Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kementerian Perdagangan (Kemendag), Widodo, seusai menghadiri acara puncak Hari Konsumen Nasional 2015 di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan, perhitungan IKK tersebut dilakukan terhadap 600 responden yang terdiri dari 297 orang perempuan dan 303 laki-laki, dengan pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) hingga bergelar doktor (S3) dan berpenghasilan mulai dari Rp200.000-Rp200 juta per bulan.
"IKK perilaku komplain yang masih rendah tersebut, ada pada tahapan pasca pembelian. Setelah barang yang dibeli sampai di rumah, ditemukan cacat tersembunyi, rusak, atau lain-lain, namun para konsumen enggan untuk menuntut haknya kepada para pelaku usaha," ujarnya.
Widodo menjelaskan, keengganan dari konsumen untuk menuntut haknya tersebut sebagian besar diakibatkan karena para konsumen menganggap bahwa untuk menuntut hak atas barang yang telah dibeli itu memakan waktu lama dan karena harga yang murah.
"Namun jika harga barangnya mahal, maka mereka akan terus menuntut haknya," katanya.
Sebagai langkah awal, dilakukan survei di empat kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan. IKK di Jakarta sebesar 43.22, Surabaya 38.74, Medan 38.56, dan Makassar 36.02 sehingga indeks gabungan dari empat kota tersebut sebesar 39.14 dari angka maksimum sebesar 100.
Ukuran IKK tersebut meliputi tingkat sadar, paham, mampu, kritis, dan berdaya. Berdasarkan hasil survei pada tahap pertama, konsumen Indonesia mencapai tingkat paham. Sementara survei pada tahap kedua akan dilanjutkan di daerah lainnya, termasuk daerah pedesaan.
Ke depan, lanjut Widodo, pihaknya akan berupaya untuk meningkatkan tingkat IKK ke taraf mampu yaitu para konsumen mampu menggunakan hak dan kewajiban untuk menentukan pilihan terbaik, termasuk menggunakan produk dalam negeri bagi diri dan lingkungannya.
"Untuk mengubah angka tersebut, lima tahun itu harus ada peningkatan koordinasi dengan instansi terkait, dan berkomitmen untuk meningkatkan edukasi kepada konsumen," ujarnya.
Menurut dia, peningkatan IKK dari taraf paham menjadi mampu, maka dalam lima tahun ke depan masyarakat Indonesia diharapkan mengutamakan produk buatan dalam negeri dan mampu menentukan produk yang berkualitas, serta mampu memperjuangkan haknya.
Kemendag merancang IKK yang merupakan indeks untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen terhadap hak dan kewajibannya, serta kemampuan mereka dalam berinteraksi dengan pasar.
Saat ini pemerintah masih berupaya meningkatkan jumlah dan penguatan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pemerintah menarget pada 2019 terbentuk 200 BPSK di Indonesia. Saat ini baru ada 78 BPSK yang beroperasi dari 166 BPSK yang terbentuk di Indonesia.
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2015
Tags: