Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan pengujian Pasal 95 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimohonkan Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI).

"Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan di Jakarta, Kamis.

Dalam pertimbangannya, sistem pembayaran upah pekerja/buruh dalam kegiatan usaha yang dibayar sebulan setelah pekerja melaksanakan pekerjaannya.

"Upah pekerja/buruh sesungguhnya adalah hutang pengusaha kepada pekerja/buruh, yang seharusnya harus dibayar sebelum kering keringatnya," kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Menurut dia, kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya haruslah menjadi prioritas, harus menduduki peringkat terdahuku sebelum kreditor separatis.

Sedangkan mengenai hak-hak pekerja/buruh, lanjut Alim, tidak sama dengan upah.

"Wajar bila terkait dengan pembayaran hak-hak pekerja/buruh berada pada peringkat di bawah kreditor separatis," katanya.

SPPSI menguji ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan terkait kondisi perusahaan pailit telah memberikan kepastian hukum, tidak multitafsir.

Pemohon menilai akibat tidak adanya penafsiran jelas dalam Pasal 95 ayat (4) itu, khususnya frasa "didahulukan pembayarannya" menimbulkan pelanggaran atas hak-hak para pekerja di perusahaaan tempat mereka bekerja yang potensial mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan.

SPPSI menilai sepanjang frasa "didahulukan pembayarannya" telah nyata-nyata menimbulkan multitafsir, yang mengakibatkan pekerja ditempatkan dalam posisi lemah dan tidak disejajarkan oleh para kreditor separatis yang praktiknya lebih didahulukan pembayarannya jika perusahaan dipailitkan.