Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani menilai penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam proses penangkapan masih menjadi momok penghalang untuk mencegah keberulangan penyiksaan.

"Penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam proses penangkapan, ketergantungan pada pengakuan sebagai bukti utama kejahatan, dan kesulitan dalam membatasi otoritas militer, masih terus menjadi momok penghalang untuk mencegah keberulangan penyiksaan," kata Andy Yentriyani dalam webinar di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Butuh penguatan kebijakan termasuk ratifikasi OPCAT stop penyiksaan

Sementara, komitmen untuk memutus impunitas masih dirasakan lemah dan inisiatif pemulihan korban juga tersendat.

Pihaknya juga menilai pengawasan yang terbatas dan belum sistematik menjadi faktor yang melanggengkan penyiksaan dan perlakuan semena-mena di ruang-ruang serupa tahanan, seperti di panti kesehatan jiwa, panti asuhan dan panti rehab narkotika.

"Adanya pendekatan militeristik, dengan kekerasan dan keinginan balas dendam masih menjadi norma yang hidup di dalam masyarakat. Sulitnya menghapus hukuman mati dan hukuman kebiri kimia adalah buktinya," kata Andy Yentriyani.

Demikian juga masih adanya pengarakan dan bentuk penghukuman massa lainnya.

Baca juga: Komnas terima aduan 308 kekerasan berbasis gender di ranah negara

Baca juga: Cegah penyiksaan, pemerintah didesak segera ratifikasi OPCAT


Kemudian, hukuman cambuk di Aceh, menurut dia, direkatkan sebagai pilihan politis dalam ketegangan relasi nasional dan daerah yang memiliki pengalaman panjang konflik bersenjata daripada menimbang persoalan HAM.

"Selain itu, persoalan perspektif aparat penegak hukum dan indikasi penyalahgunaan kewenangan yang menjadi latar praktik penundaan keadilan berkelanjutan menghadirkan penyiksaan dan perlakuan semena-mena dalam berbagai kasus kekerasan berbasis gender," kata Andy Yentriyani yang juga Koordinator Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) ini.