Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Sally Aman Nasution mengatakan, pencegahan sebagai upaya kesehatan perlu diperkuat melalui regulasi dari pemerintah, salah satunya agar anak-anak tidak merokok.

"Kalau kita mau Indonesia emas nanti 2045, ini harus dari awalnya jadi yang preventable tadi. Jadi semua yang bisa dicegah, dicegah. Artinya porsinya harus lebih besar," katanya setelah konferensi pers tentang Herpes Zoster dan pembaruan Jadwal Imunisasi Dewasa 2024 di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Kepala BKKBN: Kesehatan reproduksi pria yang merokok lebih rendah

Hal itu disampaikan sebagai respons mengenai prevalensi anak-anak yang perokok yang meningkat pada lima tahun terakhir. Sally mencontohkan, ruang untuk merokok dapat dipersempit, agar orang jadi malas untuk melakukannya.

"Kalau di luar negeri udah susah. Orang merokok itu kayak orang minoritas, jadinya dia harus ngumpet-ngumpet, harus cari ruangan tersendiri. Nah ini kan hal kecil. Tapi ini bisa memaksa orang untuk jadi malas merokok," ujarnya.

Dia mengatakan, dengan adanya kenaikan prevalensi tersebut, pasien penyakit kardiovaskuler, paru-paru, serta kanker dipastikan dapat meningkat. Namun, tidak bisa hanya berdiam diri saja, dan berbagai upaya pencegahan perlu ditempuh.

Baca juga: Pakar: Dunia militer mulai terapkan konsep kurangi risiko perokok

Saat ini, Sally mengaku sedang merawat seorang pasien berusia 28 tahun yang terkena serangan jantung, dan salah satu penyebab serangan jantung itu adalah kebiasaannya merokok sejak SD.

Dalam kesempatan itu, dia juga menyoroti tentang obesitas pada anak. Meski banyak orang yang menganggap anak gendut terlihat lucu, katanya, namun anak itu berisiko lebih tinggi terkena diabetes saat sudah dewasa.

Gaya hidup dan pola makan yang lebih sehat, ujarnya, perlu lebih digencarkan sebagai upaya kesehatan, karena menurutnya sebagian besar penyakit disebabkan oleh makanan. Saat ini, teknologi untuk mengobati penyakit, seperti diabetes, sudah modern, akan tetapi pencegahan masih kurang.

Adapun untuk regulasi terkait penanganan kuratif dinilai perlu adanya dalam hal pengobatan. Dia mencontohkan, misalnya hipertensi membutuhkan tiga obat, maka ketiganya perlu dijamin asuransi, agar penyakit tersebut tidak menjadi sakit jantung, stroke, atau gagal ginjal.

Baca juga: FAKTA: Sembilan dari sepuluh mal di Jakarta penuh asap rokok