"Sejak almarhum sakit tidak masuk kantor sudah ditunjuk Plt salah satu direktur di Jampidum," kata Ketut dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Untuk penunjukan Jampidum selanjutnya, kata Ketut, diusulkan oleh Jaksa Agung dan diangkat oleh Presiden.
"Usulan (nama calon) memang dari Jaksa Agung, prosedur pengangkatannya melalui keputusan presiden," kata Ketut.
Jampidum Fadil Zumhana meninggal dunia setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama dua bulan lebih.
Fadil Zumhana dikenal sebagai pribadi yang tegas dan setia dalam mengabdi sampai akhir hayatnya.
Ketut mengatakan Kejaksaan Agung kehilangan putra terbaik Adhyaksa yang meninggalkan kiprah dan warisan yang mencatatkan sejarah yakni penegakan hukum yang humanis.
"Warisan yang ditinggalkan almarhum yang menjadi catatan emas adalah mewakili Jaksa Agung untuk menyelesaikan 5.161 perkara berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice)," kata Ketut.
Fadil, kata dia, memulai kiprahnya sebagai jaksa fungsional pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) pada tahun 1993. Sepanjang karirnya, sudah menjabat pada beberapa posisi strategis di Kejaksaan RI, hingga di Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam).
Menurut Ketut, selama menjadi Jampidum, Fadil Zumhana hampir setiap hari memimpin langsung ekspose restorative justice dengan satuan kerja kejaksaan negeri dan kejaksaan tinggi secara virtual.
Ini dilakukan, karena berdasarkan Undang-Undang Kejaksaan RI menyatakan bahwa prosedur penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice terdapat syarat-syarat dan ketentuannya. Oleh karena itu, ekspose restorative justice dipimpin langsung oleh Jampidum untuk mempertahankan kualitas yang patut dan layak untuk sebuah perkara dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif.
"Sebuah kutipan almarhum yang kami kenang, bahwa restorative justice adalah kebijakan hukum yang sangat kuat bagi jaksa selaku pemilik dominus litis (pengendali perkara)," kata Ketut.
Bahkan dalam sehari, almarhum pernah melakukan ekspose restorative justice lebih dari 20 perkara.
Almarhum, kata Ketut, pernah menyampaikan bahwa keadilan restoratif adalah keadilan yang dirasakan, memperhatikan kepentingan korban, dan kerugian korban terpulihkan.Bahkan dalam sehari, almarhum pernah melakukan ekspose restorative justice lebih dari 20 perkara.
Tidak hanya itu, mekanisme penyelesaian perkara dengan restorative justice memiliki kelebihan, yaitu tidak mengedepankan pemidanaan, melainkan pemulihan kepada korban.
"Almarhum menekankan kepada jaksa di satuan kerja daerah agar selalu memperhatikan kepentingan korban. Almarhum bersedia melakukan ekspose sampai 20 perkara lebih untuk memberikan keadilan kepada rakyat miskin, demi menegakkan keadilan bagi masyarakat kecil," kata Ketut mengenang Fadil Zumhana.