Kairo (ANTARA News) - Mesir mengeluarkan surat penangkapan Ketua Umum Ikhwanul Muslimin Mohammed Badie dalam kaitannya dengan kekerasan maut di Kairo menyusul kemarahan kelompok pro Presiden Mohamed Moursi atas penggulingannya oleh militer.




Badie dan sejumlah pemimpin senior Ikhwanul Muslimin diburu atas dugaan menghasut kekerasan maut hari Senin lalu di luar markas besar Garda Republik di mana pendukung Moursi menuntut pembebasannya.




Moursi saat ini masih ditahan di sebuah tempat yang aman demi keselamatannya, kata juru bicara kementerian luar negeri Badr Abdelatty. "Sampai detik ini dia tidak dikenai tuduhan apa-apa."




Surat perintah penangkapan Badie ini akan mempersulit upaya perdana menteri sementara Hazem al-Beblawi dalam merengkuh kubu Islam politik ketika saat bersamaan dia sedang berupaya membentuk pemerintah sipil sementara.




Mantan menteri keuangan yang berhaluan liberal yang mulai Rabu lalu membentuk kabinetnya, siap menawarkan pos menteri kepada Ikhwanul Muslimin, lapor kantor berita Mesir MENA.




Namun Ikhwanul menolak tawaran ini. "Kami tidak bersepakat dengan para pemberontak. Kami menolak semua hal yang berasal dari kudeta ini," kata juru bicara Ikhwanul Muslimin Tareq al-Moursi kepada AFP.




Jumat pekan lalu Badie menyampaikan sebuah pidato lantang yang mengutarakan sumpah bahwa para aktivis Ikhwanul akan membanjiri jalanan dengan berjuta-juta orang sampai kepresidenan Moursi dipulihkan.




Setelah pembantaian hari Senin lalu, Ikhwanul Muslimin menyerukan pemberontakan.




Presiden sementara Adly Mansour telah menyusun jadwal pemilu awal tahun depan, di samping mengangkat Beblawi sebagai perdana menteri dan peraih Nobel Perdamaian Mohamed ElBaradei sebagai wakil presiden bidang hubungan luar negeri.




Para penentang dan pendukung Moursi sama-sama mengkritik dekrit terbitan Mansour untuk mencampakkan konstitusi yang diusulkan kubu Islam. Ini mengantarkan Mesir kian terbelah.




Ikhwanul telah menyatakan menolak piagam itu karena dekrit itu dianggap dibuat oleh para "pemberontak", dan koalisi juga kini terancam pecah.




Seorang pejabat salah satu partai anggota koalisi Front Pembebasan Nasional (NSF), yang menjadi oposisi utama di bawah kepemimpinan ElBaradei, mengkritik 33 ayat dalam piagam Mansour itu karena dianggap memberikan kekuasaan baru kepada presiden sementara.




"Anda kini seperti seorang munafik. Sepertinya Anda menentang kediktatoran, tapi kediktatoran yang berasal bukan dari kelompok Anda," kata partai tersebut.




Banyak anggota koalisi yang mengkhawatirkan terulangnya kesalahan-kesalahan yang dibuat di masa transisi pimpinan militer silam, yaitu antara setelah masa terdepaknya Hosni Mubarak pada 2011 dan keterpilihan Moursi pada Juni 2012.




Kelompok-kelompok pelindung HAM juga mengutuk penggunaan kekerasan berlebihan terhadap para pendukung Ikhwanul Muslimin hari Senin lalu, dan menyerukan sebuah investigasi yang independen untuk kasus ini, demikian AFP.