OJK perpanjang kebijakan restrukturisasi kredit, cegah "cliff effect"
19 Januari 2023 16:46 WIB
Tangkapan layar Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anung Herlianto dalam webinar, Kamis (19/1/2023). (ANTARA/Sanya Dinda)
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anung Herlianto menyebut OJK memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit dengan mempertimbangkan potensi cliff effect atau shock (kejut) pada industri perbankan.
“Kalau restrukturisasi kredit terlalu cepat berhenti, akan menimbulkan cliff effect ataupun shock pada industri perbankan, terjadi kredit crunch (kegentingan) yang menghambat pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi,” katanya dalam webinar “Urgensi Perpanjangan Kebijakan Restrukturisasi Kredit,” di Jakarta, Kamis.
OJK menerbitkan Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34 Tahun 2022 guna memperpanjang stimulus terkait restrukturisasi COVID-19 sampai Maret 2023 untuk sektor penyediaan akomodasi, makanan dan minuman, tekstil dan alas kaki, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta Provinsi Bali.
Restrukturisasi kredit untuk sektor dan wilayah tertentu tersebut diperpanjang dengan mempertimbangkan berbagai kondisi, seperti tensi geopolitik yang masih tinggi antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan kenaikan harga komoditas.
Perpanjangan restrukturisasi kredit tersebut, lanjutnya, juga telah mempertimbangkan pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19 dan besaran paparan kondisi perekonomian global terhadap perekonomian nasional.
Baca juga: OJK buka peluang perpanjangan restrukturisasi kredit COVID-19
“Kita juga tidak bisa memperpanjang kebijakan relaksasi kredit sampai terlalu lama karena akan menimbulkan moral hazard, budaya tidak membayar, budaya mengemplang, dan budaya membayar seenaknya oleh kreditur,” kata Anung.
Menurutnya, berdasarkan survei Internasional Monetary Fund (IMF) sebanyak 51 negara di dunia telah mulai melakukan normalisasi kebijakan, termasuk dengan mengurangi stimulus kepada pelaku usaha.
“Jadi di antara negara anggota G20, hanya Indonesia yang belum melakukan normalisasi kebijakannya,” ucap Anung.
Oleh karena itu OJK memilih memperpanjang restrukturisasi kredit kepada sektor dan wilayah yang belum sepenuhnya pulih dari COVID-19 hanya sampai akhir Maret 2023, karena memandang kondisi perekonomian yang sudah mulai pulih, kinerja perbankan yang kian resiliensi, dan keperluan Indonesia untuk patuh terhadap standar internasional seperti Regulatory Consistency Assesment Program (RCAP).
“Transparansi keuangan juga menjadi penilaian. Jadi kepatuhan laporan keuangan perbankan terhadap standar akuntansi internasional sulit dipenuhi dengan restrukturisasi kredit yang membuat laporan keuangan perbankan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya,” imbuh Anung Herlianto.
Baca juga: OJK: Restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 terus bergerak melandai
Baca juga: KSSK akan ubah pemberian restrukturisasi kredit ke sektor tertentu
“Kalau restrukturisasi kredit terlalu cepat berhenti, akan menimbulkan cliff effect ataupun shock pada industri perbankan, terjadi kredit crunch (kegentingan) yang menghambat pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi,” katanya dalam webinar “Urgensi Perpanjangan Kebijakan Restrukturisasi Kredit,” di Jakarta, Kamis.
OJK menerbitkan Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34 Tahun 2022 guna memperpanjang stimulus terkait restrukturisasi COVID-19 sampai Maret 2023 untuk sektor penyediaan akomodasi, makanan dan minuman, tekstil dan alas kaki, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta Provinsi Bali.
Restrukturisasi kredit untuk sektor dan wilayah tertentu tersebut diperpanjang dengan mempertimbangkan berbagai kondisi, seperti tensi geopolitik yang masih tinggi antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan kenaikan harga komoditas.
Perpanjangan restrukturisasi kredit tersebut, lanjutnya, juga telah mempertimbangkan pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19 dan besaran paparan kondisi perekonomian global terhadap perekonomian nasional.
Baca juga: OJK buka peluang perpanjangan restrukturisasi kredit COVID-19
“Kita juga tidak bisa memperpanjang kebijakan relaksasi kredit sampai terlalu lama karena akan menimbulkan moral hazard, budaya tidak membayar, budaya mengemplang, dan budaya membayar seenaknya oleh kreditur,” kata Anung.
Menurutnya, berdasarkan survei Internasional Monetary Fund (IMF) sebanyak 51 negara di dunia telah mulai melakukan normalisasi kebijakan, termasuk dengan mengurangi stimulus kepada pelaku usaha.
“Jadi di antara negara anggota G20, hanya Indonesia yang belum melakukan normalisasi kebijakannya,” ucap Anung.
Oleh karena itu OJK memilih memperpanjang restrukturisasi kredit kepada sektor dan wilayah yang belum sepenuhnya pulih dari COVID-19 hanya sampai akhir Maret 2023, karena memandang kondisi perekonomian yang sudah mulai pulih, kinerja perbankan yang kian resiliensi, dan keperluan Indonesia untuk patuh terhadap standar internasional seperti Regulatory Consistency Assesment Program (RCAP).
“Transparansi keuangan juga menjadi penilaian. Jadi kepatuhan laporan keuangan perbankan terhadap standar akuntansi internasional sulit dipenuhi dengan restrukturisasi kredit yang membuat laporan keuangan perbankan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya,” imbuh Anung Herlianto.
Baca juga: OJK: Restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 terus bergerak melandai
Baca juga: KSSK akan ubah pemberian restrukturisasi kredit ke sektor tertentu
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023
Tags: