Rijeka (ANTARA News) - Sebuah perahu pisang yang dibangun pada 1938, yang diubah menjadi kapal penyebar ranjau Jerman dalam Perang Dunia II, kemudian menjadi yacht diktator komunis Yugoslavia saat itu, Tito, -- dengan nama Galeb" -- akan menjadi museum di pantai Kroasia. "Di seluruh dunia tak ada kapal yang menerima begitu banyak pemimpin politik dan memiliki majikan," kata Zeljko Matejcic, mantan kapten Galeb dengan bangga, sekalipun ia tetap tutup mulut untuk memberikan perincian lebih jauh. Setelah ditambatkan di pelabuhan Rijeka, Kroasia utara, selama enam tahun ini, kini terdapat sedikit sinyal nasib kapal sepanjang 120 meter yang pernah menikmati masa kejayaan di masa lalu tersebut dan pernah dikenal sebagai "Kapal Perdamaian", akan berubah. Pengadilan telah memutuskan untuk melelang "Galeb", untuk membayar biaya tambat yang mencapai 500.000 dolar. Nilai kapal itu diperkirakan 275.000 dolar, namun harga penawaran pertama untuk lelang ditetapkan 150.000 dolar. "Sejumlah pembeli pontensial sudah muncul, namun saya tak tahu apakah mereka serius," kata Walikota Rijeka, Vojko Obersnel, kepada AFP, sambil mengakui kendatipun kota itu tertarik untuk membelinya, namun anggarannya sangat terbatas. "Kami ingin mengubahnya menjadi museum. Apapun pikiran orang mengenai periode itu, kapal ini menyimpan nilai sejarah yang besar," katanya, seperti dilaporkan AFP. Berlayar keliling dunia Semasa pemerintahan Josip Broz Tito, kapal itu berlayar ke seluruh dunia dan menjadi tuan rumah atas puluhan pemimpin dunia serta sejumlah bintang film internasional. Tenggelam akibat serangan pemboman Inggris atas Rijeka pada 1944 dan kemudian diangkat setelah perang usai, Galeb telah banyak menyaksikan berbagai momen sejarah. Richard Burton, yang memerankan tokoh Tito dalam sebuah film, Elizabeth Taylor dan Sophia Loren, juga pernah diterima Tito di kapal Galeb. Dalam pelayarannya ke negara-negara sahabat, kebanyakan negara miskin anggota Gerakan Non-blok (GNB), dua kapal akan selalu mengikuti Galeb sambil membawa hadiah untuk para kepala negara, namun juga pangan untuk rakyat tuan rumah, kata Matejcic. (*)