Bogor (ANTARA) - Sejarah selalu berulang. Di tengah geliat rutinitas pagi warga Jakarta dan pelaju yang telah tiba di tempat-tempat kerja maupun yang masih memadati jalanan ibu kota pada 24 Februari 2022, Presiden Vladimir Putin membuat geger publik dunia.
Pada Kamis pukul 05:00 pagi waktu Kyiv (Ukraina) atau pukul 10:00 WIB, Presiden Rusia itu mengumumkan apa yang disebutnya "operasi khusus militer" ke Ukraina.
Putin menyampaikan pidatonya yang disiarkan langsung berbagai stasiun televisi dunia.
Dalam pidatonya, Putin, antara lain mengatakan bahwa dia tidak berencana mencaplok wilayah Ukraina, namun dia mendukung hak rakyat Ukraina untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kamis, 24 Februari 2022, itu mengawali berulangnya sejarah kelam rakyat Ukraina yang delapan tahun silam telah kehilangan Semenanjung Krimea.
Tak dapat dinafikan, keputusan Putin menggelar operasi militer khusus yang oleh media Barat disebut sebagai invasi ini berhubungan erat dengan kekhawatiran Kremlin yang amat besar akan ancaman multidimensional terhadap eksistensi Rusia.
Betapa tidak, Moskow memandang kebijakan dan tindakan rejim Kyiv pimpinan Presiden Volodymyr Zelenskyy yang terang-terangan pro-Amerika Serikat dan pro-agenda perluasan keanggotaan Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sebagai ancaman hidup mati.
Sebelum pengumuman itu, Putin sudah menyiapkan pasukannya yang didukung berbagai alat utama sistem senjata (Alutsista) darat, laut, dan udara yang canggih, namun kehadiran armada perang Rusia di halaman depan negaranya itu tak membuat gentar Zelenskyy dan kalangan elit politik Ukraina.
Alih-alih menurunkan tensi dan potensi pecahnya konflik bersenjata di negaranya, Zelenskyy meladeni aksi dan reaksi Putin tersebut karena mereka termakan oleh keyakinan mereka sendiri bahwa AS, Uni Eropa, dan NATO tak akan membiarkan Ukraina berjuang sendirian dalam melawan agresi Rusia.
Seharusnya mencegah
Sebagai presiden, Zelenskyy seharusnya dapat mencegah pecahnya perang di negaranya.
Namun, hal ini tidak dia lakukan. Padahal, menurut Kompas.com mengutip suratkabar AS Wall Street Journal (WSJ), Kanselir Jerman Olaf Scholz justru sempat menawari Zelenskyy kesempatan perdamaian, beberapa hari sebelum Rusia menyerbu Ukraina.
Zelenskyy menampik tawaran tersebut. Scholz kembali mendorong Zelenskyy yang dikenal luas rakyatnya sebagai komedian dan aktor ini untuk mengambil langkah damai, sepekan sebelum Moskow menyerang negeri itu 24 Februari.
Seandainya tercapai perdamaian antara Putin dan Zelenskyy pada saat itu, WSJ mengklaim bahwa pakta tersebut akan ditandatangani Presiden Putin dan Presiden AS Joe Biden yang sama-sama menjamin keamanan Ukraina.
Hanya saja, Zelenskyy menolak untuk membuat konsesi dan menghindari konfrontasi dengan alasan bahwa Putin tidak dapat dipercaya untuk menegakkan kesepakatan semacam itu.
Tak hanya itu, Zelenskyy juga mengatakan bahwa mayoritas rakyatnya ingin bergabung dengan NATO. Jawaban Zelenskyy ini membuat para pejabat Jerman khawatir bahwa peluang perdamaian semakin memudar.
Kekhawatiran mereka itu pun terbukti. Dan, cerita selanjutnya sudah dapat ditebak.
Pada Kamis pagi itu, pasukan Rusia yang sudah lama bersiap di dekat perbatasan Ukraina itu pun memulai serangan darat, laut, dan udara mereka ke sejumlah kota penting di negara yang berbatasan dengan Rusia di timur dan timur laut, Belarusia di utara; Polandia, Slovakia, dan Hungaria di barat; serta Rumania dan Moldova di selatan itu.
Sejak hari itu hingga menjelang tahun berganti ke 2023, rakyat Ukraina dan publik dunia masih menyaksikan pertumpahan darah di negeri serumpun yang dahulu merupakan bagian dari Uni Soviet tersebut.
Kendati tidak mudah bagi Rusia menaklukkan Kyiv dan memaksa Zelenskyy hengkang dari kekuasaannya yang didukung AS dan sekutunya di Uni Eropa, akibat gempuran militer Moskow itu, tidak sedikit kota di Ukraina yang porak-poranda.
Gelombang pengungsian dari Ukraina ke Polandia pun tak terhindarkan. Di antara warga Ukraina yang mengungsi tersebut, ada yang bahkan harus melintasi benua lain.
Lagi-lagi rakyat Ukraina harus kembali menelan pil pahit kehidupan akibat ulah elit politiknya di Kyiv setelah kehilangan besar mereka atas Semenanjung Krimea yang dianeksasi Rusia pada 2014.
Dalam konteks ini, pengalaman buruk kehilangan Krimea delapan tahun lalu itu tak serta merta diambil Presiden Volodymyr Zelenskyy sebagai pelajaran sejarah yang penting dalam proses pengambilan keputusan demi keselamatan negara dan rakyatnya.
Jasmerah Bung Karno
Begitulah sejarah kelam berulang di Ukraina akibat sikap dan tindakan para elitnya yang menafikan pentingnya sejarah. Mantan Duta Besar RI untuk Tiongkok Sugeng Rahardjo teringat dengan pesan "Jasmerah"-nya Bung Karno.
Proklamator Kemerdekaan dan Presiden pertama RI ini berpesan: jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Tak kuasa melihat dampak perang yang tak hanya merenggut nyawa dan melukai raga banyak warga dan serdadu dari kedua belah pihak yang bertempur, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemimpin beberapa negara pun turun tangan.
Upaya mengakhiri perang Rusia-Ukraina yang telah memperburuk krisis pangan dan energi dunia akibat pasokan gandum dan pupuk yang terhambat, serta minyak dan gas bumi Rusia yang terkena imbas kebijakan AS dan sekutunya itu, antara lain dilakukan Turki dan Indonesia.
Bagaimana Indonesia menyikapi konflik bersenjata ini? Menurut Sugeng Rahardjo, sikap yang harus diambil Jakarta itu sudah barang tentu sepatutnya didasarkan pada kepentingan nasional Indonesia sendiri.
Bagaimana, misalnya, hubungan ekonomi dan perdagangan Indonesia dengan Rusia, AS, Ukraina, dan negara-negara anggota Uni Eropa kini dan mendatang.
Dalam konteks ini, terlihat betapa negara-negara anggota Uni Eropa itu "tidak solid". Jerman yang selama ini sangat bergantung pada pasokan gas Rusia, misalnya, babak belur akibat kebijakannya yang mengekor kehendak Gedung Putih.
Misi damai Jokowi
Di tengah kondisi pelik yang dipicu oleh dampak perang Rusia-Ukraina ini, Sugeng Rahardjo berpendapat sangat setuju dengan misi perdamaian Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina dan Rusia saat perang memasuki bulan keempatnya.
Seperti disampaikan Kementerian Luar Negeri RI dalam laman resminya, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa kunjungannya ke Ukraina itu merupakan perwujudan kepedulian masyarakat Indonesia untuk Ukraina.
Dalam pernyataan pers bersama Presiden Volodymyr Zelenskyy selepas pertemuan di Istana Maryinsky, Kyiv, pada 29 Juni 2022 itu, Presiden Jokowi pun menegaskan posisi Indonesia mengenai pentingnya penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah.
Meskipun perdamaian masih sangat sulit dicapai, Presiden Jokowi tetap menyampaikan pentingnya penyelesaian damai dan spirit perdamaian jangan pernah luntur.
Presiden Jokowi pun menyampaikan kepeduliannya terhadap dampak perang bagi kemanusiaan. Dengan kemampuan yang ada, rakyat dan pemerintah Indonesia berusaha memberikan kontribusi bantuan, termasuk obat-obatan dan komitmen rekonstruksi rumah sakit di sekitar Kyiv.
Di samping itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan pentingnya Ukraina bagi rantai pasok pangan dunia. Karenanya, semua usaha harus dilakukan agar Ukraina bisa kembali melakukan ekspor bahan pangan.
Untuk itu, penting bagi semua pihak untuk memberikan jaminan keamanan bagi kelancaran ekspor pangan Ukraina, termasuk melalui pelabuhan laut. "Saya mendukung upaya PBB dalam hal ini," tegas Presiden Jokowi.
Indonesia telah memberi kontribusi konkretnya pada upaya mendamaikan Rusia dan Ukraina untuk kebaikan kedua bangsa dan dunia.
Buah dari upaya Indonesia, Turki, dan PBB serta kemauan baik Rusia dan Ukraina untuk mencairkan sekat-sekat penghambat pengapalan stok pangan Ukraina ke pasar dunia itu sudah mulai bisa dirasakan sejak beberapa waktu belakangan ini.
Tidak pernah ada kata terlambat bagi Rusia dan Ukraina untuk duduk bersama dan merundingkan jalan mengakhiri perang yang telah menyengsarakan rakyat kedua negara dan berdampak serius pada rantai pasokan pangan dan energi dunia ini.
Rakyat Sri Lanka sudah merasakan pahit getir kehidupan akibat kesulitan stok energi di tengah kondisi ekonomi negeri mereka yang sudah sakit dan semakin memburuk akibat dampak pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina.
Semoga para pihak yang bertikai dan yang melibatkan diri dalam pertarungan geopolitik kawasan merenungi pesan "Jasmerah"-nya Bung Karno.
Dengan perenungan mendalam itu, mereka terdorong untuk mengakhiri perang yang telah berkobar di daratan Benua Eropa itu sejak 24 Februari 2022.
Dengan demikian, memasuki 2023, rakyat Ukraina, Rusia, dan dunia dapat kembali tersenyum lebar, dan bersiap menghadapi potensi masalah yang tak kalah pelik: ancaman resesi ekonomi global.
Telaah
Perang Rusia-Ukraina, Jasmerah Bung Karno, dan Jokowi
Oleh Rahmad Nasution
23 Desember 2022 17:46 WIB
Kapal perang Rusia Aleksin menembakkan rudal saat parade Hari Angkatan Laut Rusia di Baltiysk, kawasan Kaliningrad, Rusia, Minggu (31/7/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Vitaly Nevar/wsj.
Copyright © ANTARA 2022
Tags: