Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi Jepang (JMA) mengeluarkan peringatan dini tsunami setelah gempa bumi dengan magnitudo 7,2 mengguncang lepas pantai timur laut Jepang pada 9 Maret 2011. NHK melaporkan terjadi tsunami setinggi 50 sentimeter di wilayah tersebut.

Siapa yang akan menyangka jika dua hari setelah kejadian itu, tepatnya Jumat siang pukul 14.46 waktu setempat, hanya berjarak 40 kilometer (km) dari pusat gempa tersebut, Lempeng Pasifik kembali bergerak di bawah lempeng Amerika Utara dan memunculkan gempa lebih dahsyat dengan magnitudo 9,0.

Gempa di Palung Jepang itu memunculkan tsunami setinggi 10 meter yang menggulung sisi timur Pulau Honsu dan menewaskan lebih dari 15.000 jiwa. Itu menjadi satu dari lima gempa terbesar sepanjang pencatatan gempa modern dimulai.

Setelah empat tahun berselang, tepatnya Maret 2015, dalam Konferensi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pengurangan Risiko Bencana Alam ke-3 yang digelar di Sendai, Perfektur Miyagi, Jepang, untuk pertama kalinya Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030 yang terbentuk dari hasil konsultasi antarpemegang kepentingan resmi digunakan.
Arsip foto - Utusan Khusus PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana Mami Mizutori (tengah) bersama Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati (kanan) dan Gubernur Bali Wayan Koster (kiri) memberikan keterangan pers persiapan penyelenggaraan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di Denpasar, Bali, Jumat (22/4/2022). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/wsj.


Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction/SFDRR) merupakan acuan dalam aktivitas pengurangan risiko bencana yang telah disepakati 187 negara. Kerangka kerja tersebut merupakan kelanjutan dari implementasi Hyogo Framework for Action (HFA).

Seperti dilansir dari laman situs The Nippon Foundation, kerangka kerja itu lahir karena dilatarbelakangi tragedi gempa dan tsunami dahsyat yang melanda Jepang pada Maret 2011. Jumlah korban jiwa kaum disabilitas dilaporkan dua kali lipat lebih banyak dibandingkan korban masyarakat pada umumnya.

Sehingga, seruan untuk mewujudkan inklusif bagi kaum disabilitas di dalam penanggulangan bencana alam mendapatkan respon yang semakin banyak dari seluruh dunia, dan isu tersebut menjadi salah satu pembahasan utama di dalam Konferensi PBB tentang Pengurangan Risiko Bencana Alam untuk pertama kalinya.

Baca juga: BPBD Mataram konsepkan perbaikan sistem pelaporan kebencanaan daerah
Baca juga: BNPB seru semua pihak ikut dokumentasi kearifan lokal hadapi bencana



Kerangka Kerja Sendai

Berbeda dengan HFA, Kerangka Kerja Sendai menekankan pada pentingnya manajemen risiko bencana dan bukan lagi manajemen bencana.

Ruang lingkup dan tujuan kerangka kerja tersebut berlaku untuk risiko skala kecil dan besar, sering dan jarang, bencana tiba-tiba dan berangsur-angsur, bencana yang disebabkan oleh alam atau buatan manusia serta terkait lingkungan, teknologi dan bahaya biologis dan risiko.

Dan dalam 15 tahun sejak resmi digunakan, kerangka kerja tersebut harus dapat mengurangi risiko dan kerugian jiwa akibat bencana yang substansial, mata pencaharian dan kesehatan serta aset ekonomi, fisik, sosial, budaya dan lingkungan pada tingkatan orang, bisnis, komunitas atau masyarakat dan negara.

Kerangka Kerja Sendai memiliki empat prioritas aksi. Prioritas 1, memperkuat pemahaman risiko bencana dalam semua dimensi kerentanan, kapasitas, terpaan orang dan aset, karakteristik bahaya dan lingkungan hidup.

Prioritas 2, penguatan tata kelola risiko bencana di tingkat nasional, regional dan global untuk pengelolaan pengurangan risiko bencana di semua sektor dan memastikan koherensi kerangka nasional dan hukum, peraturan dan kebijakan publik lokal, dengan mendefinisikan peran dan tanggung jawab, membimbing, mendorong dan memberi insentif pada sektor publik dan swasta untuk mengambil tindakan dan mengatasi risiko bencana.

Prioritas 3, investasi dalam pengurangan risiko bencana untuk ketahanan melalui struktur dan tindakan-tindakan non-struktural yang penting untuk meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial, kesehatan dan budaya orang, masyarakat, negara dan aset mereka, serta lingkungan.
Arsip foto - Pengendara sepeda motor melintas di dekat situs Kubah Masjid Tsunami, Desa Gurah, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Selasa (12/4/2022). ANTARA FOTO/Ampelsa/tom


Dan prioritas 4, meningkatkan kesiapan bencana untuk respon yang efektif dan untuk Membangun Kembali Lebih Baik (build back better) di masa pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Namun dalam implementasi Kerangka Kerja Sendai secara global maupun di Indonesia, menurut Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar S Prasetya, masih memerlukan upaya yang panjang.

Khusus untuk mitigasi bencana tsunami, dari empat prioritas kerangka kerja yang ada , prioritas 1 yakni upaya memahami risiko bencana masih terlihat kedodoran. Sehingga membuat langkah yang dilakukan untuk prioritas 2 hingga 4 hanya sebatas penanganan normatif dan tidak spesifik di setiap lokasi berisiko bencana.

Ia menyarankan untuk melakukan penekanan prioritas 1 dengan upaya-upaya konkrit di dalam karakteristik sumber-sumber tsunami. Sehingga risiko bencana yang mungkin ditimbulkan dapat terukur dengan baik, yang pada akhirnya memengaruhi implementasi prioritas 2 hingga 4.

Baca juga: Tuan rumah GPDRR 2022, Sandiaga: Tanda RI kian tangguh hadapi bencana
Baca juga: NTB perkuat mitigasi dan pengurangan risiko bencana


GPDRR

Kerangka Kerja Sendai juga mengakui mekanisme Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana (Global Platform for Disaster Risk Reduction/GPDRR) serta platform regional untuk pengurangan risiko bencana untuk menghasilkan koordinasi lintas agenda, monitor dan tinjauan berkala yang jelas dan konsisten, guna mendukung lembaga PBB.

Platform yang terbentuk di 2006 tersebut merupakan forum global utama untuk menilai dan mendiskusikan kemajuan implementasi Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kepala negara dan pemerintahan, menteri-menteri, walikota, anggota parlemen, pimpinan sektor swasta, ilmuwan dan masyarakat.

Pertemuan GPDRR di 2007, 2009, 2011 dan 2013 terlaksana secara rutin di Jenewa. Namun di 2015, pelaksanaan forum global dua tahunan itu ditiadakan untuk fokus pada pelaksanaan Konferensi Pengurangan Risiko Bencana PBB ke-3 di Sendai, Jepang, yang menghasilkan Kerangka Kerja Sendai.
Arsip foto - Pengendara sepeda motor melintasi papan penanda menuju batas aman tsunami yang terpasang di kawasan rawan bencana tsunami, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (14/1/2022). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/rwa.


GPDRR 2017 di Cancun, Meksiko, menjadi forum global penting pertama yang membahas pengurangan risiko bencana di luar Jenewa, mengingat sesi ke-6 pertemuan global itu pada Mei 2019 kembali dilaksanakan di Jenewa.

Setelah tertunda satu tahun oleh pandemi COVID-19, sesi ke-7 forum global tersebut akan kembali terlaksana dan Indonesia akan menjadi tuan rumah pelaksanaan pertemuan tersebut.

Utusan Khusus Sekretaris Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Pengurangan Risiko Bencana Mami Mizutori mengatakan GPDRR 2022 bertujuan membangun kesepahaman global mengenai kesiapan menghadapi bencana. Konferensi tersebut menjadi kesempatan bagi seluruh negara anggota PBB, akademisi, dan pihak swasta serta media untuk menunjukkan dan berpikir bersama mengenai praktek kesiapsiagaan dan ketahanan di bidang risiko bencana di seluruh dunia.

GPDRR diharapkan dapat memberikan kontribusi dari perspektif pengurangan risiko bencana untuk pembahasan badan dan mekanisme tata kelola PBB, seperti Majelis UMUM, ECOSOC dan Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan, dan terutama untuk tindak lanjut meningkatkan proses ke konferensi dan pertemuan puncak PBB, khususnya Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

Baca juga: Pakar: Kearifan lokal penanggulangan bencana dapat dimodifikasi
Baca juga: BNPB: Visa kunjungan delegasi GPDRR diberikan saat kedatangan