Baca juga: Dirjen Kebudayaan: Warisan budaya di Pulau Banda harus diselamatkan
Lebih lanjut, Hilmar menilai film-film yang dibawa di festival, mengangkat berbagai isu sosial yang bisa menjangkau banyak penonton, sehingga akhirnya terjadi sebuah diskusi yang luas, beragam, namun inklusif dan bernilai.
"Tren yang sekarang muncul adalah film yang mengangkat isu sosial, namun bisa sampai ke level personal (kepada audiens)," kata Hilmar.
Ia juga menilai, kini terjadi pergeseran lanskap di dunia yang kemudian mempermudah terjadinya silang budaya, yang ternyata pandemi menjadi motor bagi dorongan tersebut. Namun, Hilmar mengingatkan seluruh pelaku di ekosistem perfilman untuk terus siap untuk membuat perayaan keberagaman di festival film mendatang.
"Perubahan lanskap penting untuk dicatat. Masing-masing dari kita -- mulai dari pemerintah, pelaku perfilman baik di produksi dan distribusi, ada kesadaran bahwa kita tidak bisa berjalan sendiri. Kita semakin menyadari bahwa keseluruhan ekosistem ini adalah satu kesatuan, sudah tidak bisa basa-basi lagi bahwa kita harus kolaborasi dan lainnya, karena memang seharusnya begitu," kata Hilmar.
"Sekarang ini sudah tidak zaman film hanya masuk bioskop dan (mengejar) box office. Penonton sudah sangat spesifik sekarang. Sehingga, kita musti siap, ekosistemnya perlu sama-sama mengamati ini, berperan bersama, sehingga kita bisa naik sama-sama," ujarnya menambahkan.
Sementara itu, Madani International Film Festival (MIFF) 2021 telah selesai diselenggarakan secara hibrida pada Sabtu (4/12) malam. Film asal Maroko, "Casablanca Beats", menjadi film penutup Festival Film Madani kali ini.
Film yang bertemakan musik rap ini, merupakan film yang menjadi nominasi kompetisi utama Festival Film Internasional Cannes 2021.
Baca juga: Hilmar: Gali nilai-nilai dari sejarah komunitas kecil di Indonesia
Baca juga: Pembuatan video ragam budaya PKN libatkan sutradara terkenal
Baca juga: Autentik, kunci cerita lokal bisa diterima penonton global