Peneliti: Hati-hati dalam ratifikasi perjanjian dagang RCEP
15 Oktober 2021 04:14 WIB
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (15/11/2020). Kementerian Perdagangan menyatakan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang ditandatangani pada 15 November 2020 ini diharapkan meningkatkan ekspor Indonesia ke dunia sebesar 7,2 persen. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi Kartini Samon meminta agar DPR untuk mengambil langkah hati-hati terkait ratifikasi Perjanjian Dagang Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP).
"Kami mendesak DPR untuk mengambil langkah hati-hati dan tidak meratifikasi RCEP karena pemerintah sungguh membutuhkan ruang kebijakan untuk melindungi rakyat, khususnya masyarakat rentan yang sangat dibatasi oleh RCEP," kata Kartini dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan hasil kajiannya, Kartini mengemukakan beberapa poin dalam perjanjian tersebut yang merugikan petani dan pelaku UMKM pangan di Indonesia apabila diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
"RCEP akan meningkatkan impor sejumlah produk yang akan mempengaruhi baik petani maupun UMKM pangan di Indonesia. Pasca RCEP ditandatangani pada akhir 2020, sejumlah pangan akan mengalami peningkatan impor ke Indonesia misalnya gula, daging, dan pangan olahan dari negara RCEP lain seperti Australia, China, Vietnam, dan Thailand," kata Kartini.
Kartini mencatat RCEP juga akan mengintervensi kebijakan investasi atas tanah. Dalam perjanjian perdagangan tersebut mengatur bahwa pemerintah wajib memberikan perlakuan sama kepada investor negara-negara RCEP dengan perlakuan pada investor lokal.
Hal tersebut termasuk hak membeli lahan pertanian dari investor negara RCEP. Kartini mengatakan saat ini sebagian besar negara RCEP, termasuk Indonesia, belum mengizinkan kepemilikan secara langsung lahan pertanian oleh investor asing. Jika RCEP diratifikasi, kata Kartini, akan mengubah kebijakan cukup signifikan terkait investasi untuk lahan pertanian.
"Yang menjadi penting untuk dilihat bahwa di sisi lain RCEP mempersempit ruang kebijakan untuk mengatasi masalah yang timbul pasca pandemi. Di RCEP diatur jika diratifikasi akan mengunci level liberalisasi, pemerintah meliberalkan sejumlah sektor yang ditetapkan dan tidak bisa mundur," katanya.
Negara-negara anggota RCEP adalah 10 negara anggota ASEAN bersama dengan China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Perjanjian dagang RCEP ditandatangani pada 15 November 2020 yang diselenggarakan secara virtual.
Baca juga: Wamendag tekankan peran penting Indonesia dorong implementasi RCEP
"Kami mendesak DPR untuk mengambil langkah hati-hati dan tidak meratifikasi RCEP karena pemerintah sungguh membutuhkan ruang kebijakan untuk melindungi rakyat, khususnya masyarakat rentan yang sangat dibatasi oleh RCEP," kata Kartini dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan hasil kajiannya, Kartini mengemukakan beberapa poin dalam perjanjian tersebut yang merugikan petani dan pelaku UMKM pangan di Indonesia apabila diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
"RCEP akan meningkatkan impor sejumlah produk yang akan mempengaruhi baik petani maupun UMKM pangan di Indonesia. Pasca RCEP ditandatangani pada akhir 2020, sejumlah pangan akan mengalami peningkatan impor ke Indonesia misalnya gula, daging, dan pangan olahan dari negara RCEP lain seperti Australia, China, Vietnam, dan Thailand," kata Kartini.
Kartini mencatat RCEP juga akan mengintervensi kebijakan investasi atas tanah. Dalam perjanjian perdagangan tersebut mengatur bahwa pemerintah wajib memberikan perlakuan sama kepada investor negara-negara RCEP dengan perlakuan pada investor lokal.
Hal tersebut termasuk hak membeli lahan pertanian dari investor negara RCEP. Kartini mengatakan saat ini sebagian besar negara RCEP, termasuk Indonesia, belum mengizinkan kepemilikan secara langsung lahan pertanian oleh investor asing. Jika RCEP diratifikasi, kata Kartini, akan mengubah kebijakan cukup signifikan terkait investasi untuk lahan pertanian.
"Yang menjadi penting untuk dilihat bahwa di sisi lain RCEP mempersempit ruang kebijakan untuk mengatasi masalah yang timbul pasca pandemi. Di RCEP diatur jika diratifikasi akan mengunci level liberalisasi, pemerintah meliberalkan sejumlah sektor yang ditetapkan dan tidak bisa mundur," katanya.
Negara-negara anggota RCEP adalah 10 negara anggota ASEAN bersama dengan China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Perjanjian dagang RCEP ditandatangani pada 15 November 2020 yang diselenggarakan secara virtual.
Baca juga: Wamendag tekankan peran penting Indonesia dorong implementasi RCEP
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021
Tags: