Jakarta (ANTARA) - September ini, sebagian wilayah Indonesia diprediksi telah memasuki musim hujan. Dalam seminggu ini, bencana hidrometeorologi basah seperti kejadian banjir dan tanah longsor, hingga angin puting beliung menjadi ancaman bagi beberapa wilayah yang terbilang rawan.
Kerawanan ini jangan sampai dianggap sepele. Pasalnya pada awal September, banjir yang diakibatkan curah hujan berintensitas tinggi bahkan sempat menimbulkan korban jiwa.
Contohnya kejadian banjir bandang yang terjadi di Desa Inerie, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (4/9) dini hari, telah menimbulkan dua korban jiwa dan satu orang hilang. Satu warga mengalami luka berat, dan 26 orang mengungsi.
Lima rumah di wilayah tersebut juga dilaporkan hanyut. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat pun hingga turun tangan melakukan pendataan dan pertolongan darurat pada warga.
Adapun di Pulau Sulawesi, banjir akibat intensitas hujan tinggi terjadi di Kecamatan Mapili, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menyebabkan 300 jiwa terdampak. Kerugian mencapai 90 unit rumah yang terendam, serta dua unit jembatan mengalami pengikisan pondasi, serta dua unit jembatan hampir putus.
Kerusakan infrastruktur tersebut tentu berdampak pada kehidupan perekonomian masyarakat kedepannya.
Sedangkan 531 jiwa di beberapa desa di Kecamatan Tomilito, Gorontalo Utara terdampak akibat banjir yang merendam rumah mereka, dengan ketinggian banjir 150-200 sentimeter. Banjir tersebut menyebabkan jebolnya tanggul di Desa Milango.
Banjir dan tanah longsor yang dipicu hujan dengan intensitas tinggi serta meluapnya sungai Burana pada Sabtu (4/9) juga menyebabkan banjir dan tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.
Terdapat kerugian materiil sebanyak 127 unit rumah rusak, perkebunan atau sawah masyarakat hancur dan sejumlah hewan ternak hanyut terbawa arus banjir. Selain itu, peristiwa ini juga mengakibatkan dua unit jembatan rusak serta akses jalan ke lokasi sempat terputus akibat tertutup longsor.
Adapun kendala yang dialami di lapangan yakni jaringan listrik yang padam sehingga jaringan telekomunikasi juga terganggu, sehingga terhambat dalam melakukan koordinasi. Selain itu, distribusi logistik penanganan darurat juga sempat terkendala akibat akses jalan yang sempat putus akibat tertutup longsor.
Penduduk terdampak banjir terbanyak dilaporkan terdapat di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan yang terdampak banjir yang terjadi pada Sabtu (11/9). Sebanyak 2.021 jiwa terdampak walaupun belum ada yang mengungsi, lantaran air masih menggenangi rumah warga dengan Tinggi Mata Air (TMA) berkisar 30-50 cm.
Bahkan dalam penanganan banjir, Provinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan status tanggap darurat. Hal tersebut disebabkan masih banyak daerah terdampak banjir.
Dua daerah yang telah menetapkan status ‘siaga darurat’ bencana banjir, yaitu Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Murung Raya. Kemudian tujuh wilayah menetapkan status ‘tanggap darurat’ bencana banjir.
Ketujuh wilayah tersebut yaitu Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Gunung Mas.
Terakhir, tanah longsor terjadi di Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, pada Minggu (12/9). Dua hari sebelumnya dua rumah warga di wilayah itu mengalami rusak berat akibat material longsor. Longsor susulan masih berpotensi terjadi di wilayah yang berada pada ketinggian tersebut.
Menurut kesaksian para pekerja tambang pada Jumat (10/9) lalu, pukul 16.00 WIB, beberapa kali longsor kecil terjadi di lokasi tersebut. Sedangkan informasi warga setempat, getaran kerap dirasakan pada permukaan tanah di sekitar lokasi pembangunan saat proses pendirian beton pancang.
Lokasi longsoran merupakan wilayah dengan batuan dasar berupa perlapisan batuan lempung dengan batuan pasir yang telah mengalami pengikisan.
Dilihat dari lansekap dari kawasan terdampak, permasalahan pemanfaatan ruang kawasan menjadi permasalahan utama. Galian tambang yang melebar hingga ke batas pemukiman membuat lereng tebing galian setinggi lebih kurang 40 meter tidak stabil meskipun sedang ditambahkan tiang pancang sebagai penguat.
Kaidah-kaidah keteknikan dalam penguatan lereng tidak terlihat di lapangan, sehingga bencana longsor terjadi dan merusak sebagian kawasan pemukiman.
Foto udara dibutuhkan untuk memetakan potensi bahaya longsor susulan, yang bisa dipicu oleh curah hujan lebat dan berdurasi panjang. Adanya retakan tanah di sekitar pemukiman warga akibat longsor yang terjadi meningkatkan potensi risiko longsor susulan jika tidak ada langkah-langkah antisipasi.
Itu sebabnya, kejadian bencana hidrometeorologi di saat ini tak bisa dianggap remeh sebagai bencana yang sudah menjadi rutinitas.
Baca juga: Pakar: Perkuat mitigasi untuk bencana hidrometeorologi
Baca juga: Musim hujan lebih awal, BMKG ingatkan potensi bencana hidrometeorologi
Prediksi cuaca BMKG
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pun telah memperingatkan potensi bencana hidrometeorologi menyusul prediksi musim hujan yang datang lebih awal dari biasanya pada tahun 2021.
“Perlu menjadi perhatian bersama, terutama di wilayah-wilayah rawan banjir, tanah longsor dan tanah bergerak seiring intensitas curah hujan yang akan terus semakin meninggi,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Dwikorita menyebutkan sejumlah wilayah di Indonesia diprediksi akan mengalami musim hujan lebih besar dari biasanya.
Di antaranya sebagian Aceh, Sumatera Utara, Sumatra Barat, Riau bagian selatan, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur bagian barat hingga selatan, Sulawesi, Maluku Utara bagian barat, Pulau Seram bagian selatan dan Papua bagian selatan.
Untuk itu, BMKG mengimbau pemerintah setempat dan masyarakat untuk mewaspadai, mengantisipasi dan melakukan aksi mitigasi lebih awal guna menghindari dan mengurangi risiko bencana.
"Puncak musim hujan periode 2021/2022 sendiri diprediksi terjadi pada Januari dan Februari 2022," kata Dwikorita.
Dwikorita menjabarkan dari total 342 Zona Musim (ZOM) di Indonesia, sebanyak 14,6 persen diprediksi mengawali musim hujan pada September 2021, meliputi Sumatera bagian tengah dan sebagian Kalimantan.
Kemudian 39,1 persen wilayah pada Oktober 2021, meliputi Sumatera bagian selatan, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Bali. Sementara itu, sebanyak 28,7 persen wilayah lainnya pada November 2021, meliputi sebagian Lampung, Jawa, Bali - Nusa Tenggara, dan Sulawesi.
“Jika dibandingkan terhadap rerata klimatologis awal musim hujan pada periode 1981-2010, maka awal musim hujan 2021/2022 di Indonesia diprakirakan maju pada 157 ZOM (45,9 persen), sama pada 132 ZOM (38,6 persen), dan mundur pada 53 ZOM (15,5 persen),” ujar dia.
Dwikorita menerangkan secara umum, sifat hujan selama musim hujan 2021/2022 diprakirakan normal atau sama dengan rerata klimatologisnya pada 244 ZOM (71,4 persen), sejumlah 88 ZOM (25,7 persen) akan mengalami kondisi musim hujan atas normal (lebih basah dari biasanya) dan 10 ZOM (2,9 persen) akan mengalami musim hujan bawah normal.
Baca juga: BNPB minta Pemda waspadai wilayah yang terjadi pengulangan bencana
Baca juga: Menko PMK dorong investasi upaya kurangi risiko bencana oleh BMKG
Tantangan penyaluran informasi
Di sisi lain dalam kesempatan berbeda, Dwikorita mengatakan peringatan dini untuk cuaca ekstrem telah diinformasikan enam hari sebelum hingga tiga jam sebelum kejadian. Informasi tersebut telah disiarkan ke berbagai kanal, secara digital, siaran pers, dan lain sebagainya.
Saat ini yang menjadi tantangan menurut Dwikorita adalah bagaimana informasi tersebut tidak diabaikan, dan dapat diteruskan kepada masyarakat untuk segera melakukan mitigasi bencana. Menurut dia, masih terdapat gap teknologi yang ada dalam penerusan informasi peringatan dini.
Pihaknya pun sempat mengecek informasi tersebut apakah telah tersalurkan kepada polisi air, BPBD hingga pelabuhan. Rupanya diketahui masih ada info dari BMKG yang sempat terabaikan ketika pada akhirnya terjadi peristiwa tertentu.
“Saat kejadian bencana, ada info yang kami kirim ternyata tidak dibuka, ternyata tidak paham kalau itu penting. Inilah yang kami galakkan untuk sosialisasi. Tantangan paling berat adalah informasi yang sudah diterima itu terbukti menerima, kemudian dibuka dan dibaca agar mereka paham,” ujar dia.
Sehingga menurut Dwikorita, BMKG perlu berupaya lebih keras agar penerima informasi tidak abai terhadap peringatan dini yang dikeluarkan. Tantangan tersebut, tidak hanya bisa dilakukan sendiri, salah satunya dengan cara menggelar Sekolah Lapang Cuaca Nelayan yang lebih dimasifkan untuk ratusan ribu nelayan yang ada di Indonesia.
Pengulangan bencana hidrometeolorogi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meminta pemerintah daerah (pemda) untuk mewaspadai wilayah setempat yang mengalami pengulangan bencana hidrometeorologi.
"Kalau sering mengalami pengulangan di Kabupaten/Kota yang sama, berarti kesiapsiagaan harus diperkuat," ujar Pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam konferensi pers daring Tim Inteljen Penanggulangan Bencana yang dipantau dari Jakarta, Jumat.
Ia meminta Pemda memperhatikan komponen kesiapsiagaan untuk mengurangi jumlah korban luka dan penduduk yang terdampak bencana.
Abdul mengatakan Provinsi Jawa Barat termasuk wilayah yang mesti mendapat perhatian khusus, sebab berdasarkan data yang dihimpun dalam satu waktu, provinsi tersebut mengalami bencana banjir, tanah longsor dan cuaca ekstrem dalam waktu bersamaan.
Ia mencontohkan wilayah Kabupaten Bogor yang dalam lima tahun terakhir, terjadi bencana hidrometeorologi yang beragam yakni banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor serta terjadi pengulangan.
"Bogor yang hotspot kejadiannya selalu ada di sana. Artinya ada aspek kesiapsiagaan yang belum optimal," ujar dia.
Abdul juga mengatakan wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, juga mengalami kejadian sama dan berulang seperti halnya Bogor.
Selain itu, Abdul juga mencatat sejumlah provinsi di Indonesia mengalami dua bencana hidrometeorologi basah dan kering dalam satu waktu yang bersamaan.
Misalnya temuan pada bulan Juni, Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan mengalami banjir dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Di waktu yang sama, dua provinsi tersebut mengalami banjir dan kebakaran hutan," ujar Abdul.
Sementara itu Abdul mengatakan kejadian bencana hidrometeorologi basah di bulan Juli-Agustus sering terjadi di wilayah yang menjadi perhatian saat ini yakni Provinsi Aceh, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Untuk itu, Abdul meminta upaya mitigasi pemerintah daerah untuk mengubah early warning menjadi early action guna mengurangi korban jiwa.
"Pemda harus siap siaga mitigasi seperti susur sungai, pangkas ranting pohon, penghijauan. Ada saat kontinjensi, perlu informasi lebih detil seperti kapan dan berapa lama, ini perlu kita pertajam early warning cuaca terkait potensi banjir, longsor dan puting beliung," ujar dia.
Peringatan dini serta kesiapan mitigasi perlu menjadi perhatian khusus di berbagai daerah yang telah diperhitungkan rawan bencana hidrometeorologi. Selain itu, peringatan dini BMKG sepatutnya tak disepelekan, guna menyelamatkan lebih banyak nyawa dari marabahaya bencana tersebut.
Baca juga: BMKG ingatkan hujan berpotensi datangkan bencana hidrometeorologi
Baca juga: KemenPUPR siapkan upaya mitigasi sikapi bencana hidrometeorologi basah
Artikel
Musim hujan datang, awas ancaman bencana hidrometeorologi
Oleh Devi Nindy Sari Ramadhan
13 September 2021 15:21 WIB
Ilustrasi peristiwa tanah longsor di Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA/HO-BPBD Manggarai Barat)
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021
Tags: