Epidemiolog: Implementasi penyesuaian tarif PCR harus diawasi
18 Agustus 2021 18:53 WIB
PRESIDEN MINTA HARGA TES PCR DITURUNKAN. Spanduk bertuliskan harga tes usap Polymerase Chain Reaction (PCR) terpasang di sebuah lokasi penyedia layanan tes COVID-19 di Jakarta, Minggu (15/8/2021). Presiden Joko Widodo meminta harga tes usap PCR untuk COVID-19 di Indonesia diturunkan di sekitaran harga Rp450 ribu-Rp550 ribu dan hasilnya dapat diketahui maksimal 1 x 24 jam. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj
Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengatakan pemerintah harus mengawasi implementasi penyesuaian tarif Polymerse Chain Reaction (PCR) di setiap fasilitas kesehatan.
Menurut dia, sebelumnya setiap fasilitas kesehatan yang menyediakan tes COVID-19 tersebut telah mendapat ruang yang lebih luas mematok harga setiap kali tesnya.
"Menurut saya kemarin-kemarin sudah relatif mendapat keleluasaan sehingga ini pun yang disampaikan pemerintah ini saya kira sudah memberi ada ruang, tidak rugi lah," kata Dicky saat dihubungi dari Jakarta, Rabu.
Karena itu, Dinas Kesehatan mesti memonitor secara ketat agar tidak ada penyedia tes yang melanggar aturan tersebut. Bila ada yang melanggar aturan itu, pemerintah mesti memberikan hukuman berupa sanksi administrasi.
"Saya kira ya kalau ada yang melanggar, mudah-mudahan bisa disanksilah ya, bukan pidana ya, bisa pengukuhan sementara izinnya, ditegur dan tindakan administratif lainnya," kata dia.
Baca juga: Epidemiolog: Sirkulasi udara yang buruk percepat penularan COVID-19
Baca juga: Penguasaan data kunci hindari lonjakan kasus COVID-19
Dia mengatakan bahwa kebijakan pemerintah yang menurunkan batas maksimal harga PCR tersebut sudah dalam batas normal dan relatif lebih banyak masyarakat yang dapat menjangkau layanan itu.
Menurut dia, harga suatu tes PCR dipengaruhi oleh banyak faktor, yakni bahan baku, riset, dan biaya pengembangannya.
"Kita nggak bisa memaksakan sama banget dengan India, berat. Satu, jasa dari orangnya juga murah banget India tuh, kemudian terutama nih yang gak bisa kita samain tuh karena 'reagen' atau komponen lain banyak yang sudah dibuat domestik dan lokal," katanya.
Kendati telah diturunkan, Dicky menuturkan bahwa harga tersebut masih dapat diturunkan tergantung kesiapan pemerintah dalam menyiapkan kebijakan.
"Masih bisa turun lagi, dan itu tapi tergantung pada menurut saya gini, satu juga ini kan komponennya masih impor, nah seberapa jauh pemerintah menurunkan bea masuk itu," kata Dicky.
Menurut dia, sebelumnya setiap fasilitas kesehatan yang menyediakan tes COVID-19 tersebut telah mendapat ruang yang lebih luas mematok harga setiap kali tesnya.
"Menurut saya kemarin-kemarin sudah relatif mendapat keleluasaan sehingga ini pun yang disampaikan pemerintah ini saya kira sudah memberi ada ruang, tidak rugi lah," kata Dicky saat dihubungi dari Jakarta, Rabu.
Karena itu, Dinas Kesehatan mesti memonitor secara ketat agar tidak ada penyedia tes yang melanggar aturan tersebut. Bila ada yang melanggar aturan itu, pemerintah mesti memberikan hukuman berupa sanksi administrasi.
"Saya kira ya kalau ada yang melanggar, mudah-mudahan bisa disanksilah ya, bukan pidana ya, bisa pengukuhan sementara izinnya, ditegur dan tindakan administratif lainnya," kata dia.
Baca juga: Epidemiolog: Sirkulasi udara yang buruk percepat penularan COVID-19
Baca juga: Penguasaan data kunci hindari lonjakan kasus COVID-19
Dia mengatakan bahwa kebijakan pemerintah yang menurunkan batas maksimal harga PCR tersebut sudah dalam batas normal dan relatif lebih banyak masyarakat yang dapat menjangkau layanan itu.
Menurut dia, harga suatu tes PCR dipengaruhi oleh banyak faktor, yakni bahan baku, riset, dan biaya pengembangannya.
"Kita nggak bisa memaksakan sama banget dengan India, berat. Satu, jasa dari orangnya juga murah banget India tuh, kemudian terutama nih yang gak bisa kita samain tuh karena 'reagen' atau komponen lain banyak yang sudah dibuat domestik dan lokal," katanya.
Kendati telah diturunkan, Dicky menuturkan bahwa harga tersebut masih dapat diturunkan tergantung kesiapan pemerintah dalam menyiapkan kebijakan.
"Masih bisa turun lagi, dan itu tapi tergantung pada menurut saya gini, satu juga ini kan komponennya masih impor, nah seberapa jauh pemerintah menurunkan bea masuk itu," kata Dicky.
Pewarta: Sihol Mulatua Hasugian
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021
Tags: