Laporan dari China
Pengamat klaim kebebasan beragama di Tibet lebih terjamin
28 Juli 2021 21:27 WIB
Pemandangan Gunung Sapukonglagabo di Wilayah Biru di Nagqu, Daerah Otonom Tibet, China barat daya. Dengan membaiknya kondisi transportasi, semakin banyak wisatawan yang dapat mengakses Gunung Sapukonglagabo untuk menikmati pemandangan. Foto yang dirilis Sealsa (20/10/2020) ini diabadikan pada 11 Oktober 2020. ANTARA FOTO/Xinhua/Purbu Zhaxi/PRAS.
Beijing (ANTARA) - Pemerhati sejarah sosial kemasyarakatan Tibet, Zhang Yun PhD melihat kebebasan beragama di daerah otonomi yang berada di wilayah baratdaya China itu lebih terjamin.
"Tibet saat ini sangat bebas dibandingkan sebelum perjanjian damai 1951," ujarnya kepada sejumlah awak media asing di Gedung All China Journalists Assocation (Zhongguo Jixie), Beijing, Rabu.
Meskipun sebelum era itu masyarakat setempat umumnya menganut agama Buddha, lanjut dia, mereka tidak memiliki hak untuk bebas memilih keyakinan.
"Setelah reformasi demokrasi masyarakat tidak lagi diwajibkan memeluk agama tertentu sejak lahir. Justru saat ini mereka punya hak untuk memilih keyakinan. Dengan demikian, maka setiap orang bisa mewujudkan kebebasan sejati," kata mantan Direktur Bidang Sejarah pada Pusat Penelitian Tibet itu.
Terciptanya kebebasan tersebut, jelas dia, karena adanya jaminan dari undang-undang yang berlaku di China.
Ia melihat isu Tibet dalam beberapa waktu terakhir cenderung dibesar-besarkan oleh asing.
"Undang-undang tentang Tibet yang disahkan oleh Amerika Serikat merupakan bentuk pendekatan yang salah. Dan China dengan tegas menentangnya," ujarnya.
Dalam berbagai kesempatan, para diplomat China selalu menegaskan bahwa masalah Tibet merupakan urusan dalam negeri China.
"Intervensi dari pihak asing justru akan memberikan dampak negatif," kata Zhang menambahkan.
Tibet merupakan daerah otonomi di China yang memiliki nama Mandarin sebagai Xizang. Sekitar 93 persen penduduknya beretnis Tibet dari total populasi 2,7 juta jiwa.
Etnis Han sebagai suku mayoritas di China hanya terdapat enam persen di wilayah yang berbatasan langsung dengan Nepal, Bhutan, dan India itu.
Baca juga: China minta AS berhenti campuri urusan Tibet
Baca juga: China balas pembatasan visa AS terkait isu Tibet
Baca juga: China marah saat AS tunjuk utusan HAM untuk Tibet
"Tibet saat ini sangat bebas dibandingkan sebelum perjanjian damai 1951," ujarnya kepada sejumlah awak media asing di Gedung All China Journalists Assocation (Zhongguo Jixie), Beijing, Rabu.
Meskipun sebelum era itu masyarakat setempat umumnya menganut agama Buddha, lanjut dia, mereka tidak memiliki hak untuk bebas memilih keyakinan.
"Setelah reformasi demokrasi masyarakat tidak lagi diwajibkan memeluk agama tertentu sejak lahir. Justru saat ini mereka punya hak untuk memilih keyakinan. Dengan demikian, maka setiap orang bisa mewujudkan kebebasan sejati," kata mantan Direktur Bidang Sejarah pada Pusat Penelitian Tibet itu.
Terciptanya kebebasan tersebut, jelas dia, karena adanya jaminan dari undang-undang yang berlaku di China.
Ia melihat isu Tibet dalam beberapa waktu terakhir cenderung dibesar-besarkan oleh asing.
"Undang-undang tentang Tibet yang disahkan oleh Amerika Serikat merupakan bentuk pendekatan yang salah. Dan China dengan tegas menentangnya," ujarnya.
Dalam berbagai kesempatan, para diplomat China selalu menegaskan bahwa masalah Tibet merupakan urusan dalam negeri China.
"Intervensi dari pihak asing justru akan memberikan dampak negatif," kata Zhang menambahkan.
Tibet merupakan daerah otonomi di China yang memiliki nama Mandarin sebagai Xizang. Sekitar 93 persen penduduknya beretnis Tibet dari total populasi 2,7 juta jiwa.
Etnis Han sebagai suku mayoritas di China hanya terdapat enam persen di wilayah yang berbatasan langsung dengan Nepal, Bhutan, dan India itu.
Baca juga: China minta AS berhenti campuri urusan Tibet
Baca juga: China balas pembatasan visa AS terkait isu Tibet
Baca juga: China marah saat AS tunjuk utusan HAM untuk Tibet
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021
Tags: