Jakarta (ANTARA News) - Proses implementasi otonomi daerah (Otda) negara kita, masih perlu berbagai langkah, antara lain prioritas daerahnya, kesiapan manajemen menengah sumber daya manusia (SDM) pendukung dari pusat, SDM daerah dan dukungan infrastruktur fisik.

Salah satu referensi yang terlupakan adalah mengenai otonomi daerah Jepang yang dikenal dengan “Zenso” (Zenkoku Sogo Kaihatsu Kaikaku). Referensi mengenai “Zenso”, sebagai hasil studi banding beberapa peneliti Jepang, yang ditugasi oleh The Research Institute of Development Assistance (RIDA) bersama The Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) Mei 1995.

Laporan tersebut telah disampakan pada Pimpinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) waktu itu. Di Jepang, zenso merupakan proses yang berkesinambungan dalam sejumlah tahapan.

Pertama, sebagai negara maju Jepang, hingga kini, masih terus melakukan reformasi administrasi sebagai proses menuju sistem otonomi daerah ideal.

Kedua, sebagai negara kepulauan, Jepang tidak menerapkan sistem negara perserikatan, di mana antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terdapat negara bagian (the state government), namun pemerintahan daerah berhadapan langsung dalam interrelasi pembangunan daerah dengan pemerintahan pusat.

Ketiga, pelaksanaan otonomi daerah Jepang yang sebenarnya telah terprogram dalam program nasional Jepang bernama Integrated National Physical Development Plan/INPD plan, dan dikenal Zenso yang memang didesain untuk mencapai kemandirian lokal dalam mengembangkan potensi pembangunan perekonomian daerah.

Program pembangunan fisik Jepang ini dilakukan dengan tahapan-tahapan terpadu dengan tujuan akhirnya penghapusan kesenjangan sosial ekonomi (rectification of disparities) demi tercapainya keseimbangan pembangunan (balanced development of national land).

Tiga visi penting adalah 1). adanya pengakuan atas eksistensi organisasi pemerintah nasional sebagai organisasi yang berwenang di dalam mengatur strategi pembangunan nasional; 2). guna mengembangkan strategi pembangunan ini pemerintah sangat membutuhkan dukungan data statistik yang akurat atas profil dan kondisi daerah masing-masing; 3). upaya pendelegasian (pelimpahan) wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (delegation of authority to local governments to some extent)


Empat tahapan Zenso

Zenso diwujudkan dalam 4 (empat) tahapan program pembangunan.

Zenso I (1962-1967) menekankan konsep pembangunan fisik pada penyebaran industri-industri yang semula banyak berlokasi di kota-kota metropolitan disebar menuju ke kota-kota besar, serta konsep promosi kota-kota sentral. Konsep pertama diarahkan pada upaya penciptaan Kota-kota Industri Baru (seperti Niigata, Central Hokkaido, Matsumoto Suwa) dan Lokasi Pembangunan Industri Khusus (seperti Kashima, Harima).

Zenso II (1969-1975), pembangunan difokuskan pada pengembangan new nationwide networks seperti telekomunikasi, transportasi udara, kereta ekspres (shinkansen), highways, pelabuhan laut dan sebagainya, serta pembangunan industri-industri berskala besar, khususnya di kota-kota industri.

Zenso III (1977-1985) yang semula menekankan pada industri dan pertumbuhan ekonomi tinggi menjadi bergeser kepada pentingnya memperhatikan dan memperjuangkan kualitas hidup masyarakat.

Yang tak kalah penting juga adalah penyebaran kegiatan-kegiatan industri (industrial dispersion) ke tingkat-tingkat daerah guna menekan konsentrasi kegiatan industri pada kota-kota besar tertentu saja, seperti Osaka dan Nagoya.

Zenso IV (1987-2000) mengupayakan pembentukan multi-polar nation yang tersebar, mengingat eskalasi masalah-masalah sosial terutama di kota Tokyo cukup besar. Selain itu penyebaran jaringan informasi canggih dan pembangunan infrastruktur di luar Tokyo terus dilakukan guna menghindari konsentrasi pembangunan di satu kawasan saja.

Upaya untuk lebih memberdayakan daerah pedesaan dengan pembangunan industri-industri piranti lunak (software), misalnya menjadi satu agenda yang direalisasi. Batasan waktu (timeframe) dari masing-masing Zenso bukanlah harga mati. Artinya, masing-masing Zenso tetap berjalan sesuai dengan programnya, sementara penetapan batas waktu tersebut hanya merupakan target formal yang ditetapkan pemerintah.

Sasaran utama program Zenso berupa upaya pembangunan merata lewat pemberdayaan dan pengembangan potensi daerah masing-masing untuk pembangunan ekonomi daerah yang semuanya terjalin dalam satu konsep wide-area life zones.

Pembagian wilayah-wilayah berdasar konsep wide-area life zones terdiri atas kota sentral (center city); zona pertama (primary zone); zona kedua (secondary zone); dan zona ketiga (tertiary zone). Wide-area life zones itu sama dengan luas Karesidenan yang diterapkan sebagai kebijakan zaman Hindia Belanda.

Center city yang terbagi atas tujuh kota sentral: Sapporo, Sendai, Tokyo, Nagoya, Osaka, Hiroshima Fukuoka, dan kota-kota pusat daerah :local center cities, seperti area Asahikawa, dan area Morioka masuk dalam center city of wide-area life zone.

Zona pertama sebagai wide-area life zone meliputi area Sapporo, area Sendai, area Tokyo, kawasan Nagoya, kawasan Osaka, kawasan Hiroshima dan kawasan Fukuoka.

Zona kedua dengan lingkup area yang lebih besar lagi meliputi 3 (tiga) area metropolitan, yaitu wilayah ibukota (Tokyo), wilayah Nagoya dan wilayah Osaka; dan 5 (lima) area lokal, Hokkaido, Tohoku, Chugoku, Shikoku dan Kyushu. Sedangkan zona ketiga adalah wilayah kepulauan Jepang itu sendiri.


Model untuk Indonesia ?

Dapatkah Zenso menjadi model untuk kemungkinan penerapan meskipun tanpa mencontek mentah-mentah itu di Indonesia? Penerapan otonomi daerah oleh pemerintahan reformasi dipahami sebagai satu-satunya solusi atas ketidakseimbangan Pusat-Daerah tanpa perlu ditunda lagi dengan merintis didirikannya primary dan secondary cities.

Usul pengembangan primary dan secondary cities dengan segala konsekuensi penyesuaian implementasi, termasuk penyempurnaan PAD (Pajak Asli Daerah), dan perimbangan keuangan Pusat-Daerah.

Maksud dari primary center cities atau kota-kota sentral utama adalah kota-kota pusat
utama dengan konsentrasi penduduk yang besar; mengemban fungsi administratif; dengan akses transportasi memadai dalam letak geografi yang membentuk koridor Laut Jawa, kota industri, turisme dan sebagainya. Primary cities yang pernah diusulkan: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang, Palembang, Medan.

Untuk secondary center cities atau kota-kota sentral kedua terdiri dari Banjarmasin, Balikpapan, Pontianak, Manado, Ambon, Kupang, dan Irian. Kota-kota ini dapat dipertimbangkan sebagai kota-kota sentral yang secara geografis berpotensi dalam mengembangkan wilayah segitiga interaksi regional maupun internasional (regional or international interaction triangle).

Dari kedua primary plus secondary cities dapat dirintis menjadi titik fokus interaksi segitiga. Misalnya, Pontianak dengan Pekanbaru/Dumai dan Singapura. Interaksi segitiga macam ini dapat pula dikembangkan di daerah Kalimantan Timur, Selatan dan Pusat dengan Brunei Darussalam dan Malaysia Timur. Demikian pula dengan Ujung Pandang/Makassar, Kupang dan Australia Utara.

Satu hal yang menjadi tekanan penting dalam usulan semacam Zenso untuk Indonesia adalah selain pembangunan fisik daerah, maka upaya pemberdayaan masyarakat lewat penciptaan peluang, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di dalamnya clusters industri dengan menjadikan lebih professional pelaku bisnis swasta melalui Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA), terutama Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Secara realistik tidak semua daerah, terutama yang berada di luar koridor memiliki kapasitas untuk memberi substansi riil pada pengembangan otonomi daerah dengan clusters. Referensi mengenai Zenso masih relevan untuk bobot pengembangan kapasitas otonomi yang didalamnya pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus kita.

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Jepang sejak 1980an, dan Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).