Jakarta (ANTARA News) - Motivasi, kerja keras dan tidak mau kembali ke zaman kemelaratan China pra-Deng Xiaoping. Pengangguran, urbanisasi memang merupakan masalah strategis yang mau tak mau harus mereka ditanggulangi secara nyata.

Bangsa China kini juga berupaya memberi substansi dalam gagasan mengembangkan potensi ekonomi didukung pasar modalnya yang disebut Great Wall Street, meskipun gagasannya belum menjadi kebijakan resmi para pembuat kebijakan pemerintah di Negeri Tirai Bambu itu.

Daerah Pantai China yang mengalami kemajuan spektakuler sejak tahun 1980an. Sekalipun, mereka akui dalam mencapai kemajuan itu mencuat sejumlah ketimpangan layaknya negara berkembang menuju jenjang stabilitas pembangunan.

Pembangunan spektakuler China lebih banyak diasosiasikan dengan pertumbuhan pesat China sejak Deng Xiaoping tahun 1980an sebagai Pemimpin China yang menggerakkan pembangunan kawasan Pantai China. Sejak itu hingga kepemimpinan Presiden Jiang Ze-min dan Perdana Menteri (PM) Zhu Rongji membuat orang luar atau pengamat menempatkan dikotomi membagi China menjadi kawasan pantai dan kawasan pedalaman.

Menyadari adanya kesenjangan antara daerah pesisir dan kawasan pedalaman, maka pemerintah China menjelang awal 1990an Pemerintah China bergeser ke visi trikotomi dengan membagi kawasan raksasa menjadi tiga zona ekonomi, yakni pantai, kawasan sentral dan kawasan barat atas dasar tingkat pembangunan dan lokasi geografik.

Dalam pengantar pada “Problems of Economic Development in Inland China and the Strategy for Developing the Western Region” CHEN Dong-sheng , Chief Research Centre for Western-Region Development, Chinese Academy of Social Sciences (December 2001), mengutip pengelompokan tigakawasan sebagai berikut:

1.Kawasan Timur yang meliputi 12 propinsi di sepanjang pantai yang menjalanka fungsi otonom di Liaoning, Beijing, Tianjin, Hebei, Shandong, Jiangsu, Shanghai, Zhejiang, Fujian, Guangdong, Guangxi dan Hainan.

2. Kawasan Sentral yang terdiri dari 9 propinsi otonom di Heilongjiang, Jilin, Inner Mongolia, Shanxi, Henan, Hubei, Hunan, Anhui, dan Jiangxi.

3. Kawasan Barat terdiri dari 10 propinsi otonom di Chongqing, Shichuan, Yunnan, Guizhou, Tibet, Shaanxi, Gansu, Ningxia, Qinghai, dan Xinjiang.

Konsep “pembangunan kawasan Sentral dan Barat”, yang juga dikenal sebagai “kawasan pedalaman" (inland region) mulai muncul dalam media massa China dan luar negeri awal abad 21.

Komentar resmi mengenai strategi untuk pembangunan kawasan Barat merupakan suatu ungkapan Presiden Jiang Zemin dalam suatu konperensi tentang pengentasan kemiskinan dan sejumlah masalah pembangunan pada 9 Juni 1999.

Ia mengemukakan: “… kondisi sudah tepat. Kini perlu mengakselerasi pembangunan kawasan Sentral dan Barat dengan tidak luput menggapai peluang …” Secara sadar Jiang Zemin mengarah pada masalah masalah politik dan ekonomi jangka panjang sekaligus tekad yang kuat kepemimpinan China untuk memberi substansi.

Dalam membahas strategi bagi pembangunan kawasan pedalaman, maka China fokus perhatiannya cenderung pada target resmi, yakni bagaimana memperkecil disparitas ekonomi antara kawasan Timur dan pedalaman dengan wilayah minoritas. Suku bangsa Han mendominasi kawasan Timur, sedangkan minoritas lainnya menghuni kawasan barat. Di kawasan pedalaman termasuk dalam rencana pembangunan adalah mengatasi kemerosotan lingkungan.

Kawasan pedalaman memerlukan waktu selama 50 tahun sejak didirikannya Republik Rakyat China (RRC) pada 1949 untuk mulai tumbuh dari masyaralkat pra-industrial masuk ke dalam masyarakat industri baru (from a pre-industrial society into an industrialized society). Selama ini produktivitas kawasan pedalaman China tercatat lebih rendah dari rata-rata produktivitas nasionalnya.

Luas wilayah China mencakup sekira 9.600.000 km2 dengan penduduk sekira 1.242.190.000 jiwa, Gross Domestic Product (GDP)-nya sekira 8.767,1 miliar yuan, GDP per kapita 6.546 yuan, rata-rata pendapatan penduduk 5.845, dan rata-rata pendapatan petani 2.210 yuan.

Sementara itu, kawasan timur China luas wilayahnya sekira 1.300.000 km2 dengan jumlah penduduk sekira 463.940.000 jiwa, adapun GDP sekira 5.156.400.000.000 yuan, GDP per kapita 10.309,80 yuan, rata-rata pendapatan penduduk 6.700,26, dan rata-rata pendapatan petani senilai 3.063,04 yuan.

Adapun di kawasan pedalaman China luas wilayahnya sekira 8.300.000 km2 dengan jumlah penduduk sekira 877.430.000, GDP sekira 3.610.600.000.000 yuan, GDP per kapita sekira 4.999,2 yuan, rata-rata pendapatan penduduk 5.005,77, dan rata-rata pendapatan penduduk 1.865,61 yuan.

Data tersebut bersumber dari China Statistical Abstract yang dikutip CHEN Dong-Shen selaku Chief Research Center for Western-Region Development, China Academy of Social Sciences ”Problem of Economic Develpoment in Inland China and the Strategy for Developing the Western Region” pada December 2001.

Angka luas wilayah dan distribusi penduduk memperlihatkan ketimpangan. Sama dengan kondisi negara berkembang umumnya, maka masalah urbanisasi, pengangguran dan pengangguran tak kentara, tetap juga menjadi kepedulian Pemerintah Pusat RRC untuk diatasi melalui serangkaian langkah bertahap dan berfokus.

Dalam jangka pendeknya pembangunan kawasan pedalaman merupakan bagian integral dari perluasan kebijakan fiskal dan kebijakan untuk memperluas permintaan domestik. Ketidakseimbangan pembangunan antara kawasan Pantai di satu sisi dan Barat sisi lain yang dalam prosesnya harus diperkecil merupakan masalah yang memerlukan fokus tersendiri bagi Pemerintah Pusat dan Daerah China.

Menelaah ekonomi China dalam perubahan struktural dapat membawa persepsi dan kesan umum bahwa ekonomi China melaju secara berkesinambungan. Pada kenyataannya ada kekhawatiran terjadinya kemandekan dalam tahun-tahun elakangan ini.

Sekalipun demikian, luasnya wilayah China (9,6 juta km2) dan khususnya kawasan baratnya (6,8 juta km2), menurut CHEN Dong Sheng dengan mengacu pada survei lapangan selama beberapa tahun ini, maka berbagai industri di kawasan pedalaman ini memiliki potensi dengan membuka investasi dari luar China, seperti:

1. Produk pertanian dan perkebunan (buah), produk obat tradisional,

2. Pupuk fosfat, pupuk potasic karena bahan dan industri dengan bahan dasar energi dan sumber daya mineral di kawasan barat,

3. Potensi industri teknologi tinggi di beberapa kota kawasan barat, seperti Chongqing, Chengdu, Xi’an, dan Lanzou . Industri yang memiliki potensi Teknologi Informasi, mekatronika, bio-technology dan industri obat yang didukung oleh kekuatan sumber daya manusia berteknologi tinggi (high-technology human resources).

Elit pemerintah pusat dan daerah China menyadari perbedaan dalam kondisi pembangunan ekonomi kawasan Timur dan kawasan pedalaman. Jadi jelas pendekatannya tidaklah uniform, tapi bertahap.

Yasuo Onishi dalam “Chinese Economy in the 21st Century and the Strategy for Developing the Western Region” , Institute of Developing Economies (IDE) Tokyo, Japan 2001 dengan hati-hati menelaah kapasitas sumber daya ekonomi China memasuki abad 21.

Pihak pengamat dari negara-negara Barat seringkali mencirikan strategi pembangunan kawasan pedalaman China melulu sebagai kampanye politik.

Sama seperti bagi negara-negara di kawasan Asia, bagi China abad 21 merupakan abad yang sangat penting (of special significance). Hal ini karena apa yang dicanangkan jauh jauh hari (tahun 1980) oleh kepemimpinan duet Ziang Ze-min dan Zhu Rongji sebagai “tiga tahapan rencana pembangunan”.

Tahapan pertama mencanangkan “penggandaan Produk nasional Bruto atau doubling the GNP” dari tahun 1980 ke tahun 1987, saat China dengan reformasi dan kebijakan pintu terbuka (open door policy) bertekad mencapai standar kehidupan bagi rakyatnya (makanan yang panas dan secukupnya atau warmth and adequate food).

Tahapan kedua, mencapai “penggandaan berikutnya (another doubling of GNP). Untuk meningkatkan standar kehidupan pada tahun 2000 yang dicangkan sebagai fairly well off standard of living.

Tahapan ketiga, “peningkatan pendapatan per kapita menjadi setingkat negara maju madya (semi developed country) dengan mencapai modernisasi pada pertengahan abad 21. Saat itu tahun 2049 akan mereka rayakan sebagai satu abad berdirinya China (the centennial of its founding in 2049).

Mata uangnya Renminbi (Yuan) akan tetap dipatok (pegged) terhadap dolar AS pada tingkat dolar$ 1 = Renminbi 8,28 sejak tahun 1996. Baru 22 Juli 2005, Bank of China melakukan revaluasi gradual RMB , dari dolar$!=RMB8,28 menjadi RMB 8,11, untuk akhir 2006, RMb 7,99, Juli 2007 US$1 = RMB7,75 dan akhir 2009 menjadi RMB 6,82 sampai Juli 2010.

Kemajuan yang dicapai Kawasan Timur tidak lepas dari berbagai kekuatiran adanya kelemahan strutural dan masih belum dapat diatasinya NPL (Non Performing Loans) yang melanda bank bank.

Bank bank dipaksa untuk mengejar kredibilitas dan kompetensi professional untuk mengurangi terlalu banyaknya campur tangan Pemerintah dalam arena finansial.

Pemerintah China sendiri tampaknya dari berbagai kebijakan menyadari bahwa pengalaman bereformasi ekonomi yang disertai pertumbuhan ekonomi yang terhitung cepat dijuluki sebagai suatu keberhasilan untuk suatu “pendekatan gradual” untuk transisi ekonomi terencana (planned economy) ke ekonomi pasar.

Pentahapan memang mengandung berbagai masalah, antara lain di sektor finansial sebagai akibat kurang pengalamannya sektor swasta atau bisnis yang diswastakan beroperasi secara efisien dan profesional. Tapi, risiko ini memang harus diambil mengingat “opening up policies” yang dicanangkan Deng Xioaping, the “grand old man” mulai tahun 1980.

Ketika itu dimulai perjalanan the exit of the government dalam arti penarikan diri pemerintah dari aktivitas bisnis. Langkah pertama yaitu penarikan diri dari kegiatan yang terkait produksi (production related acitivities) dari bisnis. Dalam langkah pertama keberhasilan memang terasakan oleh rakyat.

Setelah itu, langkah yang dirancang adalah penarikan diri dari bidang pembelanjaan (financing) dan pengambilan keputusan dalam investasi. Dalam langkah kedua masih tetap diperlukan persetujuan pemerintah ketika perusahaan milik negara mengajukan permohonan kredit dari bank yang juga milik negara.

China dengan cermat mampu (capable) mengatasi masalah masalah dengan tetap berproses gradual dengan sumber daya ekonominya. Disini tampak kurang jelinya pengamat dari Barat, terutama Amerika Serikat (AS) dalam mencari pemahaman mengapa “China, naga yang baru menggeliat”, dengan mantap ber-internasionalisasi/globalisasi dengan karakteristik China (globalization with Chinaese Characteristics), sebagai diungkapkan oleh Joshua Cooper Ramo dalam The Beijing Consensus (2004).

Dengan pemahaman yang makin proporsional, maka pebisnis dan pemerintah Indonesia diharap tidak mudah terjebak mencontek cara pengamatan para pakar yang berasal dari negara Barat, terutama dari Amerika Serikat (AS) yang seringkali tidak seimbang dalam menyajikan observasi dan analisis tentang China lantaran ada kepentingan terselubung lainnya. (*)

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi/Bisnis Asia Timur, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar).