Jakarta (ANTARA News) - Sebagai konsekuensi dari tuntutan era perubahan yang berkisar pada perlunya demokratisasi kehidupan politik, demokrasi ekonomi, penegakan hukum (rule of law, dan bukan law of the ruler) tidaklah cukup berhenti sampai di slogan penuh janji saja, namun harus menjadi realita.

Dengan menggugat diri, maka kita dapat bercermin sudahkah modal manusia (human capital) meningkat dalam budaya produktivitas individual dan kelompok?

Realita mengungkapkan bahwa elit dan jajaran dalam arus utama (main stream) banyak yang belum mau menyadari tantangan untuk mereformasi diri dan membeku dalam sikap pandang, karena egoisme yang dirasionalkan. Tantangannya bagi bangsa ini memasuki era masyarakat pengetahuan dari masyarakat industrial yang meningkat dalam produktivitas.

Ke masa depan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pengembangannya harus membawa pada penyadaran untuk mengantisipasi kesiapan membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowlwdge based society) yang menjadi prasyarat keunggulan persaingan abad ke-21 ini.

Ikujiro Nonaka, Professor Institute of Business Research, Hitotsubashi University Tokyo, Japan dalam “Management Dynamism and Managerial Productivity” (1993), memotivasi, agar elit dan kelas menengah terus mau berproses belajar Ia menyampaikan visi pandangannya mengenai inovasi sebagai suatu proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi (organizational knowledge-creation) :

1. Yang tak terucapkan/terungkapkan (tacit),
2. Yang dinyatakan/diungkapkan secara eksplisit (articulable).

Pengetahuan yang nyata (articulable) berkenaan dengan pengetahuan yang dialihkan (transmittable) dalam bahasa formal, sistematik, sedangkan pengetahuan yang tak terungkapkan (tacit) adalah mempribadi dan sulit diformulasi dan tidak mudah dikomunikasikan.

Pengetahuan yang tak terucapkan (tacit) itu dapat dibagi lebih lanjut dalam dua jenis: know-how (atau aspek prosedural) dan semacam frame of reference. Frame of reference itu oleh para psikolog dikenal sebagai mental models dan mencakup paradigma, kepercayaan tradisional, yang kita biasa pakai dalam mem-persepsi dunia dan lingkungan. Suatu dimensi abstrak dari setiap individu, dan inovasi seringkali menjadi penting untuk mengartikulasikan perskpektif atau citra seseorang mengenai dunianya, kini dan yang akan datang.

Penciptaan pengetahuan yang lebih bermakna terjadi karena adanya interaksi antara yang tak terucapkan (tacit) dan yang nyata (articulable) yang memerlukan penyesuaian yang dinamis pada keadaan dan memainkan peranan dalam kemampuan organisasi untuk bisa bertahan dan tumbuhkembang. Dalam setiap organisasi masa depan, peranan manajemen menengah menjadi penggerak, fasilitator dalam penciptaan pengetahuan.

Pendekatan manajemen middle-up-down sebagai pendekatan/wacana baru dapat memberi kontribusi pada pemanfaatan penuh dalam penciptaan pengetahuan Dengan middle-up-down management itu memungkinkan terjadinya arus informasi yang komprehensip dan terfokus.

Manajemen top-down yang selama ini masih dianut memiliki kemampuan penggerak ketertiban (orde generating capability) yang otoriter, tetapi kemampuan penciptaan pengetahuannya adalah rendah. Sebaliknya, manajemen bottom-up dianggap mampu memberdayakan penciptaan pengetahuan (knowledge creating capability), tetapi miskin dalam penciptaan ketertiban. Manajemen menengah dalam top down dibatasi menjadi ‘penyalur’ keputusan yang berasal dari pucuk pimpinan saja.

Karenanya middle-up-down management memungkinkan rasio optimal dari ketertiban informasi. Implementasinya menghendaki teori baru dari struktur, prinsip dan metodologi untuk penciptaan pengetahuan dalam dan antar organisasi sebagai kunci untuk proses pembaruan mandiri (self renewing process) dalam lingkungan yang sangat dinamis.

Dalam dunia yang makin terbuka dan difasilitasi oleh kemajuan teknologi informasi layaknya telepon maupun telepon seluler (ponsel) dan Internet, maka kita tengah bergerak dari suatu masyarakat industrial ke suatu masyarakat pengetahuan (knowledge society), dimana sumber kekayaan bergeser dari modal ke pengetahuan dan jenis organisasi (organizational type) dari hierarki yang tajam (steep hierarchy) menuju ke jejaringan manusia (human networking ). Sinyal-sinyal tuntutan terhadap SDM yang memiliki kompetensi pengetahuan dan profesional serta berjiwa kewirausahaan membawa mereka pada respon untuk berubah dalam persepsi.

Pada gilirannya masih harus ditumbuhkembangkan dalam pemerintahan yang bukan bernafaskan birokratik kaku, tetapi entrepreneurial. Pengembangan SDM dalam birokrasi pemerintahan akan menciptakan sejumlah individu yang berjiwa kewirausahaan yang menghargai hal-hal baru. SDM-nya berani mengambil inisiatif dan mampu merealisasikan penemuan penemuan baru demi peningkatan mutu pelayanan pada masyarakat dan sebaliknya penghargaan masyarakat atas pelayanan yang memiliki nilai dan mutu. .

Memasuki tahun-tahun yang akan datang, kita semua tetap butuh suatu paradigma baru yang bukan slogan politik, tetapi secara konseptual dalam arti aturan permainan baru, pembaruan dalam diri manusia yang mampu menciptakan sejumlah ekspektasi tentang apa yang mungkin dapat terjadi berdasarkan sejumlah asumsi yang saling terkait (inter-related).

Hasil kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, komunikasi dan informasi, transportasi dan travel mendekatkan manusia satu sama lainnya untuk meningkat dalam membangun jaringan kerja (networking) dan sekaligus berkreasi secara inovatif terutama dalam pelayanan tepat waktu, bermutu hingga menciptakan kepuasan pasar dan masyarakat umum yang dilayani.

Dalam perkembangan waktu akan makin nyata bahwa strategi menuju masyarakat pengetahuan (knowledge society) diperlukan secara riil dalam era perubahan, tumbuhnya kesadaran dalam diri manajemen menengah dan masyarakat sipil (civil society) dapat dicapai dengan cara “melihat kedalam diri sendiri”, serta menggunakan apa yang didengar, dilihat dan dialami untuk mampu memahami proses apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya.-

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia Timur, dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta.