Tanjungpinang (ANTARA) - Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) menyatakan pelaku pertambangan bauksit ilegal di Provinsi Kepulauan Riau harus memperbaiki lingkungan yang rusak parah selama bertahun-tahun.
Koordinator Walhi Riau-Kepri Rico Kurniawan, yang dihubungi dari Tanjungpinang, Jumat, mengatakan, orang atau badan usaha yang tidak memulihkan lingkungan pascatambang legal maupun ilegal selama bertahun-tahun dapat dianggap lalai.
Kelalaian itu menyebabkan kerugian bagi negara dan masyarakat, sehingga pemerintah dan aparat penegak hukum harus bertindak cepat.
Ia mengingatkan pemerintah tidak mengambil opsi untuk memperbaiki lingkungan dengan menggunakan anggaran negara, melainkan mengejar pelaku perusakan lingkungan itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Kami yakin pemerintah mengantongi pelaku pertambangan legal maupun ilegal yang sudah bertahun-tahun lalu mendapatkan keuntungan dari penjualan bauksit, namun tidak memiliki niat untuk memperbaiki lingkungan yang rusak di Tanjungpinang, Bintan dan Lingga," ujarnya.
Baca juga: Lokasi makam bersejarah pun dirusak penambang bauksit
Rico mengemukakan kerusakan lingkungan dapat dikonversi menjadi kerugian negara seperti yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani perkara korupsi di bidang pertambangan di berbagai daerah.
Pertambangan bauksit ilegal di Bintan sekitar dua tahun lalu, yang dilakukan sejumlah badan usaha, yang berujung pada proses hukum tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Tanjungpinang menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan bauksit itu tidak hanya sekadar merugikan negara dan masyarakat di sektor pendapatan, melainkan juga kerusakan lingkungan.
"Apakah ketika pelaku pertambangan bauksit ilegal, dan oknum pemerintah yang terlibat dalam perkara korupsi di bidang pertambangan itu dihukum lantas lingkungan yang rusak pascatambang dipulihkan? Saya pikir ini dua hal yang berbeda," katanya.
Baca juga: Pemerintah diingatkan tidak toleransi penambangan bauksit ilegal
Karena itu, lanjutnya sasaran penegak hukum dan pemerintah harus mengarah pada pemulihan lingkungan. Termasuk aktivitas pertambangan yang terjadi di Tanjungpinang lebih dari 10 tahun lalu, para pelaku perusakan lingkungan harus dikejar untuk dimintai pertanggungjawabannya.
Pemulihan lingkungan pascatambang di Kabupaten Lingga, salah satu pulau penyangga di Indonesia pun perlu diperhatikan secara serius. Para pelaku pertambangan harus memperbaiki lingkungan yang rusak setelah mengeruk bauksit dari bumi Lingga.
"Apa yang terjadi pada tiga daerah itu semestinya tidak terulang lagi di kemudian hari, termasuk pembiaran terhadap aktivitas pertambangan ilegal di pulau-pulau dengan berkedok usaha lainnya. Ini catatan buruk, yang harus diperhatikan untuk kepentingan negara dan masa depan generasi penerus bangsa," tegasnya.
Baca juga: Kejati Kepri menahan sepuluh tersangka korupsi izin tambang bauksit
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kepri Hendri Kurniadi mengatakan aktivitas pertambangan, termasuk pertambangan bauksit wajib memenuhi prosedur, termasuk memastikan perusahaan tersebut memulihkan lingkungan pascatambang.
Pria berusia 43 tahun yang baru beberapa bulan menjabat sebagai Kadis ESDM Kepri itu menegaskan perusahaan yang berhasil memulihkan lingkungan, dan mengubah lingkungan menjadi bermanfaat bagi masyarakat, tidak banyak. Dinas ESDM Kepri akan bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan pertambangan bauksit, pasir darat maupun granit yang belum melaksanakan kewajibannya memulihkan lingkungan.
"Pertambangan mineral dibutuhkan untuk kepentingan bangsa dan negara, karena produk yang digunakan masyarakat sehari-hari diolah dari bahan mineral pertambangan. Namun keseimbangan lingkungan harus diprioritaskan sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan pascatambang," katanya.
Baca juga: Pengusaha bauksit diingatkan mahasiswa UMRAH perhatikan lingkungan
Walhi: penambang bauksit ilegal di Kepri harus perbaiki lingkungan
12 Februari 2021 15:21 WIB
Lingkungan rusak ditinggal perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan bauksit ilegal di Bintan (Nikolas Panama)
Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: