Jakarta (ANTARA News) - Negara anggota perhimpunan bangsa Asia Tengara (ASEAN) sejak awal dasa warsa 2000 makin mencermati dan mengapresiasi kemantapan hubungan bilateral Jepang dan China.

Kalangan pembuat kebijakan, pengamat dan pelaku bisnis di Association South East Asia Nation (ASEAN) mengharapkan peningkatan hubungan secara bilateral China-Jepang, dan mendorong hubungan keduanya di Asia Tenggara.

Proses dalam ASEAN sendiri masih berlangsung untuk integrasi total. Di kalangan bisnis ASEAN tantangannya makin mendesak untuk membangun komunitas ekonomi ASEAN pada 2015.

Bagi negeri ini, emasuki era implementasi IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement), mulai Juli 2008 perlu juga elit dan eksponen bisnisnya secara berkesinambungan mencermati gerak langkah diplomasi dan strategi ekonomi Jepang ke ASEAN. Demikian juga mencermati diplomasi ekonomi China ke ASEAN dalam rangka realisasi CAFTA (China Asean Free Trade Agreement) mulai 2010.

Keberadaan kegiatan ekonomi Jepang di ASEAN terlihat kian aktif sejak tahun 1970an di sektor perdagangan, investasi dan ODA (Official Development Assistance). Bahkan, Jepang sampai dewasa ini masih sebagai penanam modal asing (Foreign Direct Investment/FDI) terbesar di Indonesia.

Hubungan Jepang dengan ASEAN memang mengalami pasang surut. Salah satu surutnya terjadi ketika demonstrasi anti-Jepang di Thailand dan Jakarta pada 1974.

Jepang kemudian menempuh kebijakan yang lebih menghargai kesetaraan, dan akhir tahun 1977 di bawah kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Takeo Fukuda disemboyankan “kokoro to kokoro no fureai” (hubungan yang dilandasi sentuhan sanubari) atau “heart to heart diplomacy”. Hal itu disampaikannya di Manila 1977, manakala mengakhiri perjalanan ke anggota ASEAN.

Melalui diplomasinya, Takeo Fukuda berhasil secara bertahap mencairkan ketegangan dan meningkatkan kembali peranan Jepang dalam perdagangan, investasi dan bantuan resmi (ODA).

Kerjasama Jepang antara 1970an sampai tahun 1990n dengan ASEAN masih bersifat satu per satu dan belum memasuki tahap Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Area/FTA). Setelah dicetuskannya kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA) pada 1992, Jepang mengikuti perkembangan implementasinya efektif di awal 2003.

Sejarahnya kerjasama Jepang dengan ASEAN yang sudah sejak empat dasa warsa lalu, dan rintisan menuju ke kawasan perdagangan bebas Jepang-ASEAN (Japan-Asean Free Trade Area) dengan masing-asing anggota ASEAN melalui persetujuan kerjasama ekonomi (Economic Partnership Agreement/EPA).

Bagi Jepang, FTA pertama dengan ASEAN melalui Singapura pada 2002 dalam kerangka persetujuan kerjasawama ekonomi Jepang-Singapura (Japan-Singapore Economic Partnership Agreement/JSEPA), dengan EPA dengan Thailand. Oleh karena itu, EPA dengan ASEAN hingga kini belum menjadi kenyataan sepenuhnya.

Dalam EPA dengan masin-masing anggota ASEAN cakupannya tidak hanya pemotongan bea masuk, tetapi juga arus masuk keluar manusia, aturan investasi, kerjasama ekonomi, dan sejumlah sektor strategis lainnya. Bagi Jepang, waktu itu, perjanjian EPA termasuk komprehensip dengan mempertimbangkan keunggulan dan kelemahan dalam sumber daya ekonomi masing masing.

Kini EPA dengan Indonesia (Indonesia-Japan Economic Partnerships Agreemen/IJEPA) sudah memasuki taraf implementasi yang saling menguntungkan mulai awal Juli 2008.

Sementara itu, upaya China untuk mempererat hubungan dengan negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia dirintis kembali sejak tahun 1995an. Salah satu upaya China adalah mempererat hubungan bilateral sambil merintis dalam rangka AFTA, dan kawasan perdagangan bebas China-ASEAN (China Asean Free Trade Area/CAFTA) mulai efektif 2010.

Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-China Summit di Kamboja pada November 2002 melibatkan ke-10 negara anggota tetap ASEAN yang dicapai persetujuan dengan China untuk menetapkan serangkaian langkah strategis kerjasama perekonomian mereka dan menciptakan CAFTA sebagai kerangka kerja legal dalam satu dua dasa warsa mendatang. Sejak itu interaksi perdagangan dan penanaman modal dalam rangka memantapkan CAFTA mulai melaju untuk realisasi pada 2010an.

Agenda China untuk CAFTA digerakkan oleh strategi "gaige kaifang" (opening up and reform). China waktu itu juga mencermati ketidakpastian orientasi Amerika Serikat (AS) sejak terjadi tragedi runtuhnya gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001.

China rupanya makin membutuhkan peningkatan hubungan dengan negara anggota ASEAN Pertimbangannya adalah ekonomi (economic considerations) dalam mencapai kesejahteraan bangsa bersama secara harmonis. Adanya aktivitas kultural pebisnis China dengan mitranya di sejumlah negara ASEAN merupakan "plus point".

Pertimbangan yang secara langsung maupun tidak langsung mencuat adalah jumlah penduduk China 1,3 miliar dan ASEAN sebanyak 550 juta. Dengan pertimbangan ini, rupa-rupanya China mau berbagi (sharing) keberhasilan ekonominya dengan negara negara tetangganya, sekalipun dalam proses mendakinya kadang kadang menginjak kerikil kerikil penghambat, seperti pergerakan modal (capital free flow), aturan bea masuk negara negara ASEAN, sarana teknologi informasi, transportasi dan mutu sumber daya manusia dan listrik dalam menyerap alih teknologi. Di China sendiri adanya ketertinggalan kawasan pusat dan barat, yang agak mengganggu dalam prosesnya.

Di balik cara berbagi (sharing) tersebut China mengincar kelimpahan sumber daya alam yang masih belum sepenuhnya digali di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia, untuk memodernisasi produksi yang dapat diserap secara kompetitif hasilnya oleh pasaran regional maupun dunia.

Dalam perjalanan memasuki abad 21, para pembuat kebijakan China menganggap dalam jangka pendek atau dasa warsa pertama dan kedua abad 21 adalah lebih masuk akal bekerjasama dengan ASEAN melalui CAFTA untuk kemudian memberi substansi pada kerjasama “Asia Timur”.

Secara terselubung China berupaya menjadi mentor bagi ASEAN dalam AFTA, dan selanjutnya dalam pemrakarsa Komunitas Ekonomi Asia Timur yang bukan bersifat integrasi. China juga tahu diri dalam Asia dengan memperhatikan keunggulan kapasitas ekonomi Jepang dan Korea Selatan.

China terus berupaya menerapkan Konsensus Beijing dengan "guanxi" (jaringan kerja) yang dilandasi “shinyung” (saking percaya) yang dikenal dikalangan pelaku bisnis China dengan mitranya di kawasan ASEAN untuk mewujudkan Asia yang damai, bahagia dan sejahtera (peace, happiness and prosperity), dan tidak mau diadu domba oleh bangsa luar benua Asia.

Dengan kemantapan pola pikir para pembuat kebijakan dengan dukungan pengamat dan pelaku ekonomi bangsa bangsa Asia, maka kini saatnya menerapkan strategi memantapkan keterkaitan dan saling mendukung (mutual attraction and support) dapat menjadi visi bersama mewujudkan abad Asia.

Apalagi, ada stabilitas ekonomi di Jepang, China dan anggota ASEAN memasuki dasawarsa 2010.

Selain itu, cadangan devisa China sudah mencapai 2,3 triliun dolar AS, dan Jepang mencapai 900an miliar dolar AS, dan keduanya bernilai tukar terhitung stabil, sehingga memperkuat posisi kedua negara menjadi lokomotif Asia dalam kebersamaan mewujudkan abad 21 sebagai abadnya Asia.

Sebagai harapan, suatu proses interaktif antara negara anggota ASEAN denga Jepang dan China mewujudkan jembatan ekonomi yang kuat dengan dilandasi budaya produktif melalui peningkatan mutu sumber daya manusia yang profesional berlandaskanetika. (*)

*) Bob Widyahartono(bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia Timur, Lektor Kepala di Fakultas Ekonimi Universitas Tarumanagara, Jakarta.