Kemenperin pacu substitusi impor bidik kemandirian industri nasional
24 Oktober 2020 18:57 WIB
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Doddy Rahadi. (ANTARA/HO/Kementerian Perindustrian)
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus fokus dan menggenjot subtitusi impor untuk mencapai kemandirian industri nasional di tengah pandemi COVID-19 yang menekan perekonomian Indonesia.
Kondisi pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga tentang perlunya segera melakukan pendalaman struktur industri nasional untuk mengatasi ketergantungan impor, dengan target substitusi impor sebesar 35 persen pada tahun 2022.
“Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian untuk mewujudkan kedalaman struktur industri mandiri dan berdaya saing,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Kemenperin terus mendorong pembangunan 27 kawasan industri baru
Melalui keterangan tertulis Doddy mengatakan Presiden Joko Widodo sebelumnya menyatakan perekonomian semua negara saat ini sedang macet atau hang, karena itu dibutuhkan restart dan rebooting.
“Semua negara, termasuk Indonesia, memiliki kesempatan untuk menyusun ulang semua industrinya,” ujar Doddy.
Untuk itu pemerintah siap menjalankan beberapa kebijakan terkait penurunan impor. Salah satunya dengan menaikkan tarif bea masuk most favourable nation (MFN) untuk komoditas strategis.
Baca juga: Menperin paparkan strategi capai subtitusi impor 35 persen pada 2022
Selain itu, pemerintah akan menjalankan kebijakan non-tarif seperti penerapan technical barrier to trade (TBT) melalui peningkatan jumlah Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib.
“Untuk menjalankan kebijakan tersebut, dibutuhkan penambahan alur proses pengajuan SNI untuk produk tertentu, pembenahan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro), penerapan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri secara tegas dan konsisten, serta implementasi minimum import price,” kata Doddy.
Dalam webinar dengan Gabungan Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (GAMMA) baru-baru ini, Doddy juga menyampaikan, saat ini baru terdapat 22 SNI wajib di sektor industri logam. Selanjutnya, terdapat empat SNI wajib di sektor permesinan.
“Ini merupakan potensi untuk meningkatkan investasi baru atau ekspansi dalam rangka substitusi impor. Dengan menarik investasi, kita dapat membangun kemandirian industri, dan meningkatkan hilirisasi industri dalam negeri,” ujarnya.
Baca juga: Kemendag: Pengendalian impor produk halal jaga pasar domestik
Doddy menyebutkan Kemenperin telah melakukan pemetaan kelompok industri berdasarkan dampak pandemi COVID-19, yang terbagi menjadi tiga kelompok.
“Kategori hard hit seperti sektor industri logam, pemesinan dan otomotif. Kategori moderat, untuk sektor petrokimia yang relatif stabil. Dan kategori high demand untuk sektor industri makanan dan minuman, farmasi, serta alat kesehatan,” terangnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo menyatakan industri nasional masih memerlukan kebijakan dan infrastruktur yang mendukung agar bisa tetap berdaya saing yang tinggi.
“Untuk itu, pemerintah mengeluarkan Program Strategis Nasional yang mencakup 23 sektor. Adapun proyek yang memerlukan dukungan dari pelaku industri logam dan mesin, seperti program superhub, ketenagalistrikan, kawasan penyediaan pangan (food estate), dan instalasi pengolahan sampah,” katanya.
Wahyu menambahkan program tersebut merupakan program unggulan yang dipercepat pencapaiannya.
“Program-program ini ditargetkan selesai sebelum tahun 2024. Hal tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan untuk memenuhi kebutuhan dari pembangunan infrastruktur maupun non-infrastruktur tersebut,” ujar Wahyu.
Kondisi pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga tentang perlunya segera melakukan pendalaman struktur industri nasional untuk mengatasi ketergantungan impor, dengan target substitusi impor sebesar 35 persen pada tahun 2022.
“Hal ini sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian untuk mewujudkan kedalaman struktur industri mandiri dan berdaya saing,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahadi di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Kemenperin terus mendorong pembangunan 27 kawasan industri baru
Melalui keterangan tertulis Doddy mengatakan Presiden Joko Widodo sebelumnya menyatakan perekonomian semua negara saat ini sedang macet atau hang, karena itu dibutuhkan restart dan rebooting.
“Semua negara, termasuk Indonesia, memiliki kesempatan untuk menyusun ulang semua industrinya,” ujar Doddy.
Untuk itu pemerintah siap menjalankan beberapa kebijakan terkait penurunan impor. Salah satunya dengan menaikkan tarif bea masuk most favourable nation (MFN) untuk komoditas strategis.
Baca juga: Menperin paparkan strategi capai subtitusi impor 35 persen pada 2022
Selain itu, pemerintah akan menjalankan kebijakan non-tarif seperti penerapan technical barrier to trade (TBT) melalui peningkatan jumlah Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib.
“Untuk menjalankan kebijakan tersebut, dibutuhkan penambahan alur proses pengajuan SNI untuk produk tertentu, pembenahan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro), penerapan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri secara tegas dan konsisten, serta implementasi minimum import price,” kata Doddy.
Dalam webinar dengan Gabungan Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (GAMMA) baru-baru ini, Doddy juga menyampaikan, saat ini baru terdapat 22 SNI wajib di sektor industri logam. Selanjutnya, terdapat empat SNI wajib di sektor permesinan.
“Ini merupakan potensi untuk meningkatkan investasi baru atau ekspansi dalam rangka substitusi impor. Dengan menarik investasi, kita dapat membangun kemandirian industri, dan meningkatkan hilirisasi industri dalam negeri,” ujarnya.
Baca juga: Kemendag: Pengendalian impor produk halal jaga pasar domestik
Doddy menyebutkan Kemenperin telah melakukan pemetaan kelompok industri berdasarkan dampak pandemi COVID-19, yang terbagi menjadi tiga kelompok.
“Kategori hard hit seperti sektor industri logam, pemesinan dan otomotif. Kategori moderat, untuk sektor petrokimia yang relatif stabil. Dan kategori high demand untuk sektor industri makanan dan minuman, farmasi, serta alat kesehatan,” terangnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo menyatakan industri nasional masih memerlukan kebijakan dan infrastruktur yang mendukung agar bisa tetap berdaya saing yang tinggi.
“Untuk itu, pemerintah mengeluarkan Program Strategis Nasional yang mencakup 23 sektor. Adapun proyek yang memerlukan dukungan dari pelaku industri logam dan mesin, seperti program superhub, ketenagalistrikan, kawasan penyediaan pangan (food estate), dan instalasi pengolahan sampah,” katanya.
Wahyu menambahkan program tersebut merupakan program unggulan yang dipercepat pencapaiannya.
“Program-program ini ditargetkan selesai sebelum tahun 2024. Hal tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan untuk memenuhi kebutuhan dari pembangunan infrastruktur maupun non-infrastruktur tersebut,” ujar Wahyu.
Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020
Tags: