Kemenperin minta industri bersiap rebut peluang dari implementasi RCEP
20 Oktober 2020 18:41 WIB
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin, Dody Widodo. ANTARA/Biro Humas Kementerian Perindustrian/pri.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Dody Widodo meminta industri merebut peluang dari implementasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) atau Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional yang dinilai akan memberikan beberapa akses pasar baru bagi produk industri nasional.
“Mari kita bersama-sama memahami seluk-beluk RCEP ini, yang rencananya ditandatangani pada KTT RCEP pada November tahun ini,” kata Dody pada webinar yang mengusung tema Peluang dan Tantangan Sektor Industri dalam Implementasi Perjanjian RCEP, Selasa.
Doddy mengungkapkan pelaku industri di Indonesia juga harus siap menghadapi berbagai tantangan implementasi RCEP. Misalnya, kata dia, potensi lonjakan impor, meningkatnya kompetisi dalam perdagangan barang dan jasa, maupun persaingan dalam menarik investasi.
Baca juga: Mendag sebut perjanjian RCEP bakal ditandatangani November 2020
RCEP adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Selain itu implementasi RCEP melibatkan enam negara mitra yakni China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan India.
“Konsep RCEP merupakan inisiasi dari Indonesia pada saat Indonesia menjadi ketua ASEAN pada 2011, yang bertujuan untuk mengintegrasikan kemitraan ASEAN dengan keenam negara mitra yang sudah terbentuk sebelumnya,” papar Dody.
Perjanjian kerja sama yang sudah terbentuk tersebut antara lain ASEAN – China Free Trade Agreement (ACFTA), ASEAN – Korea Free Trade Agreement (AKFTA), ASEAN – Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN – Australia – New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA), dan ASEAN – India Free Trade Agreement (AIFTA).
Baca juga: ASEAN diprediksi jadi pusat rantai pasok barang dunia pada 2030
Menurut Dody, RCEP akan menjadi salah satu perjanjian perdagangan bebas regional terbesar (mega FTA) di dunia. Tanpa India, perjanjian ini mencakup 29,6 persen penduduk dunia, kemudian 30,2 persen produk domestik bruto dunia, sekitar 27,4 persen perdagangan dunia, dan 29,8 persen Foreign Direct Investment (FDI) dunia.
“Sedangkan, jika India bergabung, maka perjanjian ini akan mencakup 47,5 persen penduduk dunia, sebesar 33,5 persen produk domestik bruto dunia, sekitar 29,5 persen perdagangan dunia, dan 33,7 persen FDI dunia,” ujarnya.
Menurut Dody, posisi Indonesia dalam penerapan RCEP dapat menjadi strategis. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, antara lain ekspor Indonesia ke RCEP pada tahun 2019 mewakili 61,65 persen (95 miliar dolar AS) dari total ekspor Indonesia ke dunia. Selanjutnya, investasi dari RCEP pada tahun 2019 mencapai 66,59 persen (19 milyar dolar AS) dari total FDI.
“Saat ini, yang perlu kita genjot adalah ekspor produk industri untuk meningkatkan performa perdagangan, sehingga tidak mengalami defisit neraca perdagangan. Dengan begitu, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, Vietnam maupun Singapura,” terangnya.
Baca juga: Indonesia tidak masalah jika India batal gabung RCEP
Oleh karena itu, Kemenperin mengajak seluruh sektor industri di tanah air menjadikan tantangan pandemi saat ini sebagai momentum yang baik untuk pemulihan ekonomi nasional.
“Kita perlu meningkatkan kemandirian bahan mentah, bahan baku, dan proses produksi hingga pengemasan yang baik serta penguatan di bidang logistik, branding dan lainnya,” tuturnya
Di samping itu, Indonesia perlu melakukan pendalaman struktur industri dengan mengisi sektor yang belum ada atau ada tapi belum mumpuni dari sisi kualitas maupun kuantitas, serta keberlangsungan suplai atas input yang dibutuhkan.
“Kami juga terus mendorong pengoptimalan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), serta mengusulkan regulasi dan insentif sesuai kebutuhan para pelaku industri,” tandasnya.
Baca juga: Airlangga pastikan Indonesia siap manfaatkan peluang perdagangan RCEP
“Mari kita bersama-sama memahami seluk-beluk RCEP ini, yang rencananya ditandatangani pada KTT RCEP pada November tahun ini,” kata Dody pada webinar yang mengusung tema Peluang dan Tantangan Sektor Industri dalam Implementasi Perjanjian RCEP, Selasa.
Doddy mengungkapkan pelaku industri di Indonesia juga harus siap menghadapi berbagai tantangan implementasi RCEP. Misalnya, kata dia, potensi lonjakan impor, meningkatnya kompetisi dalam perdagangan barang dan jasa, maupun persaingan dalam menarik investasi.
Baca juga: Mendag sebut perjanjian RCEP bakal ditandatangani November 2020
RCEP adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Selain itu implementasi RCEP melibatkan enam negara mitra yakni China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan India.
“Konsep RCEP merupakan inisiasi dari Indonesia pada saat Indonesia menjadi ketua ASEAN pada 2011, yang bertujuan untuk mengintegrasikan kemitraan ASEAN dengan keenam negara mitra yang sudah terbentuk sebelumnya,” papar Dody.
Perjanjian kerja sama yang sudah terbentuk tersebut antara lain ASEAN – China Free Trade Agreement (ACFTA), ASEAN – Korea Free Trade Agreement (AKFTA), ASEAN – Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN – Australia – New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA), dan ASEAN – India Free Trade Agreement (AIFTA).
Baca juga: ASEAN diprediksi jadi pusat rantai pasok barang dunia pada 2030
Menurut Dody, RCEP akan menjadi salah satu perjanjian perdagangan bebas regional terbesar (mega FTA) di dunia. Tanpa India, perjanjian ini mencakup 29,6 persen penduduk dunia, kemudian 30,2 persen produk domestik bruto dunia, sekitar 27,4 persen perdagangan dunia, dan 29,8 persen Foreign Direct Investment (FDI) dunia.
“Sedangkan, jika India bergabung, maka perjanjian ini akan mencakup 47,5 persen penduduk dunia, sebesar 33,5 persen produk domestik bruto dunia, sekitar 29,5 persen perdagangan dunia, dan 33,7 persen FDI dunia,” ujarnya.
Menurut Dody, posisi Indonesia dalam penerapan RCEP dapat menjadi strategis. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa indikator, antara lain ekspor Indonesia ke RCEP pada tahun 2019 mewakili 61,65 persen (95 miliar dolar AS) dari total ekspor Indonesia ke dunia. Selanjutnya, investasi dari RCEP pada tahun 2019 mencapai 66,59 persen (19 milyar dolar AS) dari total FDI.
“Saat ini, yang perlu kita genjot adalah ekspor produk industri untuk meningkatkan performa perdagangan, sehingga tidak mengalami defisit neraca perdagangan. Dengan begitu, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, Vietnam maupun Singapura,” terangnya.
Baca juga: Indonesia tidak masalah jika India batal gabung RCEP
Oleh karena itu, Kemenperin mengajak seluruh sektor industri di tanah air menjadikan tantangan pandemi saat ini sebagai momentum yang baik untuk pemulihan ekonomi nasional.
“Kita perlu meningkatkan kemandirian bahan mentah, bahan baku, dan proses produksi hingga pengemasan yang baik serta penguatan di bidang logistik, branding dan lainnya,” tuturnya
Di samping itu, Indonesia perlu melakukan pendalaman struktur industri dengan mengisi sektor yang belum ada atau ada tapi belum mumpuni dari sisi kualitas maupun kuantitas, serta keberlangsungan suplai atas input yang dibutuhkan.
“Kami juga terus mendorong pengoptimalan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), serta mengusulkan regulasi dan insentif sesuai kebutuhan para pelaku industri,” tandasnya.
Baca juga: Airlangga pastikan Indonesia siap manfaatkan peluang perdagangan RCEP
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020
Tags: