Jakarta (ANTARA News) - Memasuki tahun 2010, dengan wacana /perspektif baru tatanan politik global dan perdagangan Jepang terutama di kawasan Asia Pasifik, kalangan muda dan intelektual Jepang berharap agar partai DPJ/Minshuto di bawah kepempinan Yukio Hatoyama tidak lagi membawakan sikap ambivalen partai LDP/Jiminto dalam hubungan dengan Amerika Serikat (AS).

Menengok ke belakang, sejak tahun 1946 setiap tanggal 6 dan 8 Agustus, bangsa Jepang memperingati kegetiran yang mereka pernah alami, yakni dijatuhi bom atom oleh AS di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Dalam benak bangsa, dan terutama para cendekiawan Jepang, terpendam ungkapan "memaafkan, tapi tidak mungkin melupakan” (forgive, but never forget) sebagai sejarah kepedihan meskipun tidak terucapkan.

Tidak semua kalangan elite dan intelektual serta kelas menengah di Jepang mau turut manut pada tekanan AS. Yang patut dicermati ungkapan Shintaro Ishihara yang menunjukkan dengan bukunya The Japan that can say No: Why Japan will be First among Equals (1989, dan cetak ulang tahun-tahun berikutnya). Buku ini aslinya dalam bahasa Jepang. Ishihara waktu itu mengeritik kalangan LDP/Jiminto karena sikap ambivalen dalam kebijakan ekonomi dan politik internasionalnya.

Dari isi bukunya itu terungkap sikap nasionalis, hingga ia dijuluki oleh berbagai ilmuwan AS sebagai Gaullist-nya Jepang. Ini ungkapan untuk menyamakan Ishihara dengan De Gaulle, Presiden Perancis, yang nasionalis dan agak anti-AS. Kaum hawkish (rajawali) penekan politik dan diplomasi AS makin cemas dengan sikap Gaullist yang dibawakan oleh Ishihara, karena sejak itu mulai tumbuh pengaruh wacana Ishihara di kalangan muda hingga kaum tua yang makin terbuka wacananya.

Kalangan akademisi Jepang sendiri terus menyuarakan kegundahan karena masih terdapat beberapa faktor historis yang menyebabkan ambivalensi dan ketidakmantapan (unstable) dalam sikap pandang Jepang terhadap negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Pertama, sikap tradisional Jepang yang menarik diri (disengage) dari Asia dan terpaksa banyak menggabungkan diri dengan wawasan Barat/Eropa yang maju. Kedua, beban historis sebagai akibat kekalahan dalam Perang Dunia (PD) II, dan Ketiga, dalam suasana pasca-Perang Dingin yang membuat Jepang makin sulit untuk mengurangi aliansi dengan AS.

Walaupun perang dingin dunia sudah usai, namun kesadaran penuh Jepang sebagai bagian Asia belum cukup banyak memadai. Pengaruh nasionalisme kembali makin sadar dalam benak Junichiro Koizumi (Perdana Menteri Jepang sejak 2001-2006), sebagai pendekar baru Jiminto/LDP, dengan berupaya memperlihatkan independensinya dari kelompok konservatif LDP/Jiminto yang terlalu pro-Amerika. Koizumi tampaknya dengan tegas ingin angin reformasi politik dan ekonomi Jepang agar tidak berada dalam kebekuan.

Sekalipun ada kecemasan dan hambatan dari kaum konservatif, tampilnya Shinzo Abe sebagai penerus Koizumi sampai awal September 2007 dan sejak itu munculnya Yasuo Fukuda yang meneruskan Doktrin Fukuda, ciptaan Takeo Fukuda (ayahanda Yasuo Fukuda). Namun, digantinya Abe dengan Taro Aso terungkap kembali keraguan dalam hubungan dengan Asia Timur, termasuk Perhipunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Naiknya DPJ/Minshuto akhir 2009, dalam panggung pemerintahan lebih dapat diharapkan darinya dalam kebijakan “ke Selatan”, yakni Asia Timur dan ASEAN? Banyak kalangan Jepang sendiri sudah cukup lama merasa tidak nyaman berada dalam tekanan AS. Doktrin Fukuda, dengan diplomasi damai Jepang pada gilirannya membuat AS mulai kikuk dalam diplomasi, terutama dengan kawasan Asia.

Pertumbuhan ekonomi China, Korea Selatan, dan ASEAN secara tidak langsung menggugat Jepang memfokus kembali sebagai bagian Asia dengan diplomasi ekonomi yang Jepang layak jalankan memasuki akhir tahun 2009 dan tahun tahun berikutna.

Pertama, untuk kepentingan Asia Pasifik, meskipun Jepang rupa rupanya masih memelihara aliansi dengan AS untuk sementara waktu, agar dengan mempertegas posisi kalangan DPJ/Minshuto dengan Amerika menjadi setara.

Kedua, Jepang perlu tetap berperan serta menggerakkan Asia secara keseluruhan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui bantuan ekonomi (ODA=Official Development Assistance), dan tetap melakukan penanaman modal di negara-negara ASEAN, China, serta Korea Selatan dan India.

Ketiga, secara politis Jepang perlu mengambil peranan kepemimpinan bersama China yang asertif demi pertumbuhan Asia.

Idealnya, peranan Jepang bersama China menjadi economic powerhouse Asia dalam satu dekade mendatang dan seterusnya, hingga makin pasti membuat Asia memiliki identitas Asia dalam interaksi politik, ekonomi dan sosial budaya internasional/global. Suka atau tidak suka tantangannya Jepang dan China yang menjadi kekuatan ekonomi bersama ASEAN, Korea Selatan dan India, hingga abad 21 dalam satu/dua dasa warsa ini sebagai abad Asia.

Generasi baru Asia, termasuk Indonesia diharap mewujudkan saling mendukung dalam proses peningkatan perdamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan (peace, happiness and prosperity) bangsa bangsa Asia dengan tetap mantap dalam interaksi berpolitik, ekonomi dan sosial/budaya hingga memberi makna abad 21 sebagai abad Asia.

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi studi pembangunan Asia, khususnya Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar), Jakarta.