PM Libya ingin mengundurkan diri akhir Oktober
17 September 2020 08:27 WIB
Perdana Menteri Libya yang diakui PBB Fayez al-Sarraj bertemu dengan Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Jossep Borrel di Brussel, Belgia, Rabu (8/1/2020). (REUTERS/POOL)
Tripoli (ANTARA) - Perdana menteri Libya yang diakui internasional, Fayez al-Sarraj, pada Rabu (16/9) mengatakan ia ingin mundur akhir Oktober.
Pengunduran dirinya itu kemungkinan akan menimbulkan ketegangan politik di Tripoli, di tengah upaya baru untuk menyelesaikan konflik di negara tersebut.
"Saya menyatakan keinginan tulus untuk menyerahkan tugas saya kepada otoritas eksekutif berikutnya, paling lambat akhir Oktober," katanya dalam pidato yang disiarkan televisi.
Merujuk pada pembicaraan yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, ia mengakui ada kemajuan dalam menyetujui cara untuk menyatukan perpecahan di negaranya serta mempersiapkan pemilihan.
Sarraj adalah kepala Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA), yang berbasis di Tripoli, sementara Libya timur dan sebagian besar wilayah selatan dikendalikan oleh Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar.
Perang saudara di negara itu telah menarik berbagai kekuatan regional dan internasional. Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia mendukung LNA sementara Turki mendukung GNA.
Namun, kedua belah pihak di Libya terbentuk dari koalisi tidak stabil, yang mendapat tekanan sejak Turki membantu GNA menghentikan serangan LNA selama 14 bulan di Tripoli pada Juni.
Blokade ekspor energi yang dilakukan LNA sejak Januari telah membuat Libya kehilangan sebagian besar pendapatan.
Keadaan itu memperburuk standar hidup masyarakat dan ikut memicu protes di kota-kota yang dikendalikan oleh kedua belah pihak.
Di Tripoli, serangkaian demonstrasi telah menyebabkan peningkatan ketegangan antara Sarraj dan menteri dalam negeri yang berpengaruh, Fathi Bashagha. Sang menteri sempat diskors pada Agustus sebelum kembali menjalankan jabatannya.
Pengunduran diri Sarraj dapat menimbulkan pertikaian baru di antara tokoh-tokoh senior GNA lainnya, juga di antara kelompok-kelompok bersenjata dari Tripoli dan kota pesisir Misrata di Bashagha, yang memegang kendali di lapangan.
"Masalah menyangkut milisi akan lebih terlihat," kata Jalel Harchoui, seorang peneliti di Clingendael Institute.
Sarraj memimpin GNA sejak pemerintahan itu dibentuk pada 2015, sebagai hasil dari perjanjian politik yang didukung PBB.
GNA bertujuan menyatukan dan menstabilkan Libya setelah terjadi kekacauan, yang diikuti dengan pemberontakan pada 2011 --yang kemudian membuat Muammar Gaddafi terguling.
Terlepas dari kegagalan dan kelemahan pemerintah yang dipimpinnya, Sarraj dipandang sebagai seorang pemimpin moderat yang nyaman diajak berurusan oleh sebagian kalangan faksi timur dan sekutu asing mereka, juga oleh para pemain internasional lainnya.
Sumber: Reuters
Baca juga: Pasokan kesehatan COVID-19 WHO tiba di Libya
Baca juga: Turki sebut gencatan senjata di Libya saat ini tak untungkan GNA
Pengunduran dirinya itu kemungkinan akan menimbulkan ketegangan politik di Tripoli, di tengah upaya baru untuk menyelesaikan konflik di negara tersebut.
"Saya menyatakan keinginan tulus untuk menyerahkan tugas saya kepada otoritas eksekutif berikutnya, paling lambat akhir Oktober," katanya dalam pidato yang disiarkan televisi.
Merujuk pada pembicaraan yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, ia mengakui ada kemajuan dalam menyetujui cara untuk menyatukan perpecahan di negaranya serta mempersiapkan pemilihan.
Sarraj adalah kepala Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA), yang berbasis di Tripoli, sementara Libya timur dan sebagian besar wilayah selatan dikendalikan oleh Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar.
Perang saudara di negara itu telah menarik berbagai kekuatan regional dan internasional. Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia mendukung LNA sementara Turki mendukung GNA.
Namun, kedua belah pihak di Libya terbentuk dari koalisi tidak stabil, yang mendapat tekanan sejak Turki membantu GNA menghentikan serangan LNA selama 14 bulan di Tripoli pada Juni.
Blokade ekspor energi yang dilakukan LNA sejak Januari telah membuat Libya kehilangan sebagian besar pendapatan.
Keadaan itu memperburuk standar hidup masyarakat dan ikut memicu protes di kota-kota yang dikendalikan oleh kedua belah pihak.
Di Tripoli, serangkaian demonstrasi telah menyebabkan peningkatan ketegangan antara Sarraj dan menteri dalam negeri yang berpengaruh, Fathi Bashagha. Sang menteri sempat diskors pada Agustus sebelum kembali menjalankan jabatannya.
Pengunduran diri Sarraj dapat menimbulkan pertikaian baru di antara tokoh-tokoh senior GNA lainnya, juga di antara kelompok-kelompok bersenjata dari Tripoli dan kota pesisir Misrata di Bashagha, yang memegang kendali di lapangan.
"Masalah menyangkut milisi akan lebih terlihat," kata Jalel Harchoui, seorang peneliti di Clingendael Institute.
Sarraj memimpin GNA sejak pemerintahan itu dibentuk pada 2015, sebagai hasil dari perjanjian politik yang didukung PBB.
GNA bertujuan menyatukan dan menstabilkan Libya setelah terjadi kekacauan, yang diikuti dengan pemberontakan pada 2011 --yang kemudian membuat Muammar Gaddafi terguling.
Terlepas dari kegagalan dan kelemahan pemerintah yang dipimpinnya, Sarraj dipandang sebagai seorang pemimpin moderat yang nyaman diajak berurusan oleh sebagian kalangan faksi timur dan sekutu asing mereka, juga oleh para pemain internasional lainnya.
Sumber: Reuters
Baca juga: Pasokan kesehatan COVID-19 WHO tiba di Libya
Baca juga: Turki sebut gencatan senjata di Libya saat ini tak untungkan GNA
Penerjemah: Tia Mutiasari
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020
Tags: