Jakarta (ANTARA) - Wabah virus corona (COVID-19) di Ibu Kota Jakarta belum mereda, bahkan pada Kamis (27/8) kasus positif mencapai 820 kasus.

Angka itu tertinggi sejak pandemi merebak di Jakarta yang diumumkan pada 2 Maret 2020 sehingga total mencapai 36.462 kasus.

Namun bukan hanya kasus positif yang dikhawatirkan, berita-berita mengenai COVID-19 juga banyak yang tidak jelas asal-usulnya (misinformation). Penyebaran misinformation mengenai COVID-19 ini juga tidak kalah dengan penyebaran virus yang mematikan ini.

Kalau misinformation terjadi di daerah terpencil bisa dimaklumi mengingat keterbatasan saluran informasi, namun penyebaran info yang keliru soal COVID-19 juga terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta yang memiliki saluran informasi lebih luas dan lengkap.

Misinformation ini terlihat pada bulan Agustus 2020 dengan banyaknya pihak yang mengklaim menemukan obat maupun suplemen yang mampu menyembuhkan COVID-19. Belum termasuk tip-tip untuk menghindari penularan COVID-19 yang masih diragukan kebenarannya dari segi medis.

Misinformation ini banyak beredar di media sosial atau media pertemanan terkadang diadopsi masyarakat begitu saja tanpa melalui saringan, check and recheck atau konfirmasi kepada pihak lebih paham. Ini yang membuat paparan misinformation lebih tinggi dibanding penyebaran penyakit itu sendiri.

Situasi ini memunculkan istilah infodemi atau pandemi informasi mengenai COVID-19 yang penyebarannya lebih memprihatinkan lagi, setidaknya seperti disampaikan Klinik Misinformasi. Klinik Misinformasi didirikan berangkat dari keprihatinan banyaknya berita-berita yang tidak benar mengenai COVID-19.

Klinik Misinformasi adalah sebuah kampanye kolaboratif yang didukung oleh Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jaringan Gusdurian dan beberapa organisasi nirlaba lainnya.

Gerakan ini bertujuan untuk memberantas berita bohong (hoaks) terkait COVID-19 dengan cara mengedukasi pengguna internet agar bijak dalam mengonsumsi berita di dunia digital. Lalu menghubungkan mereka dengan sumber informasi yang akurat dan terpercaya.

Baca juga: Anak muda kebal COVID-19? Ini faktanya
Baca juga: Campuran air kelapa, jeruk nipis, dan garam dapat obati COVID-19? Ini faktanya


Survei
Survei yang dilaksanakan Klinik Misinformasi menunjukkan 90 persen responden terdampak infodemi selama masa wabah COVID-19.

Sebanyak 9 dari 10 responden Klinik Misinformasi terpapar berita bohong dan menyesatkan. Temuan ini merupakan hasil uji keterpaparan lebih dari 5.000 responden terhadap misinformation yang beredar selama pandemi.

Adapun responden dari kuis edukatif ini secara umum menggambarkan para pengguna media sosial di Indonesia dari berbagai kategori usia, tingkat pendidikan dan geografis.

Diskusi bertajuk "Refleksi Infodemi di Masa Pandemi" yang digagas koalisi organisasi masyarakat sipil Indonesia tergerak untuk menghadapi infodemi di Indonesia.

Infodemi didefinisikan sebagai tumpah-ruahnya beragam informasi yang kebanyakan di antaranya tidak benar atau tidak dapat diverifikasi.

Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyejajarkan bahaya infodemi dengan pandemi. Informasi yang salah dan tidak akurat akan berpengaruh besar pada kesehatan dan pengambilan keputusan masyarakat dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Baca juga: Cek Fakta: Luhut Panjaitan sebut arak Bali dapat turunkan jumlah penderita COVID-19?
Baca juga: Virus corona sengaja disebarkan dokter-apoteker Indonesia? Cek faktanya
Masyarakat memasuki mal di tengah pandemi. Masyarakat diharap selalu memeriksa kebenaran informasi mengenai COVID-19. (HO/EON)

Bentang Febrylian, pemeriksa fakta dari Mafindo mengungkapkan informasi yang menyesatkan telah menjadi bagian dari dinamika bermedia-sosial dan temuan bahwa 90 persen responden Klinik Misinformasi telah terpapar infodemi.

Fakta ini mengonfirmasi tingkat keterpaparan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap misinformation. Selama pandemi, Mafindo menemukan lebih dari 500 hoaks terkait COVID-19 yang beredar di masyarakat.

Bentang mendesak infodemi ini ditanggapi serius baik oleh pemerintah, masyarakat maupun media massa. Wabah informasi yang keliru ini bisa diredam melalui kerja sama tiga pihak tersebut.

Masyarakat diminta lebih kritis berkaitan dengan informasi yang beredar selama wabah COVID-19. Jangan segan untuk mencari tahu kebenaran informasi yang didapat kepada pihak-pihak yang berkompeten.

Temuan lain dari responden Klinik Misinformasi, dalam segi usia, tingkat keterpaparan paling tinggi terjadi pada kelompok usia di atas 54 tahun, dengan jumlah responden yang terpapar misinformasi mencapai 100 persen.

Kategori usia yang terpapar sangat tinggi lainnya adalah pengguna media sosial di rentang usia 0-17 tahun dengan tingkat keterpaparan mencapai 94 persen.

Isu pengobatan
Dokter spesialis paru, dr Jaka Pradipta mengatakan sebagian besar hoaks yang beredar di masyarakat menyasar pada isu pencegahan dan pengobatan COVID-19.

Membaca dan mendengar berita yang tidak terklarifikasi bisa menyebabkan seseorang keliru dalam mengambil tindakan pencegahan. Karena itu membahayakan kesehatan dirinya dan orang lain atau bahkan terlambat mendapatkan penanganan medis.

Jadi, masyarakat perlu sangat waspada dengan berita seperti klaim penemuan obat dan pencegahan COVID-19 tanpa didukung bukti-bukti ilmiah.

Baca juga: BIN nyatakan DKI Jakarta zona hitam COVID-19? Ini penjelasannya
Baca juga: Pedagang Pasar Mayestik meninggal akibat COVID-19? Cek faktanya
Pemeriksaan rapid test. Kebenaran informasi dapat ditanyakan kepada pihak-pihak yang berkompeten. (HO/AEON)

Klinik Misinformasi didirikan untuk mengajak masyarakat waspada dan mengambil peran dalam mencegah penyebaran informasi yang keliru soal COVID-19 di media sosial dan aplikasi pesan instan.

Klinik Misinformasi telah melakukan berbagai kampanye dan edukasi bersama mitra. Selain itu, Klinik Misinformasi juga menghadirkan sebuah seri stiker WhatsApp (WA) yang dapat diunduh secara gratis di tautan https://bit.ly/StickerAntiHoax.

Produk kreatif ini merupakan kerja sama Klinik Misinformasi dengan ilustrator muda @shirohyde sebagai upaya untuk memberikan dukungan kepada generasi muda untuk berani bersuara dan mengajak keluarga terdekat, komunitas dan lingkungan mereka menghindarkan penyebaran berita bohong dan menyesatkan.

Untuk mengurangi penyebaran hoaks di sosial media dan platform mainstream, dibutuhkan sikap kritis terdapat informasi apapun yang didapatkan. Perlu mempertanyakan validitas informasi tersebut sehingga dapat mencegah penyebarannya.

Klinik Misinformasi telah menerima menerima lebih dari 5.000 responden pengguna media sosial menunjukkan tingkat keterpaparan mereka terhadap misinformasi seputar COVID-19 melalui kuis di website klinikmisinformasi.id.

Dengan demikian penyebaran infodemi memang tidak kalah bahayanya dengan pandemi COVID-19.

Karena itu, lebih baik setiap orang memposisikan sebagai "polisi" di grup pertemanan atau media sosial dengan menyebarkan konten positif untuk mencegah infodemi.
Baca juga: Cek Fakta: Korban meninggal akibat COVID-19 di dunia mencapai 1,6 juta jiwa?
Baca juga: Cek Fakta: Ribuan santri di Kudus tak sadarkan diri usai tes cepat?