Jakarta (ANTARA News) - Dengan mengamati perkembangan pemahaman dan penerapan etika, baik dalam organisasi bisnis, pemerintahan, dan sosial, maka bagi banyak orang terlihat masih cukup banyak muncul sikap ambivalen.

Di satu pihak, mereka menyatakan diri seolah pembawa obor peradaban organisasi (organizational civilization), tetapi di pihak lain ada saja yang memamerkan peranan dan perilaku yang membenarkan denyut organisasi amoral.

Etika organisasi, baik itu organisasi pemerintahan, bisnis atau sosial, adalah etika terapan dengan prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) prinsip manfaat ; 2. prinsip hak-hak asasi dan prinsip keadilan. Etika terapan dengan refleksi yang berlandaskan nilai (value-based) yang setiap saat menggugat para eksekutif dari puncak sampai eselon penyelia , secara indivudual maupun kolektif.

Refleksi moral adalah titik sentralnya. Dalam hal ini pada etika memiliki tantangannya “bagaimana perilaku organisasi menjawab pertanyaan yang erat kaitanya dengan nilai-nilai fundamental dalam masyarakat luas, dari pusat sampai daerah-daerah jauh dari pusat organisasi, bisnis, pemerintahan, sosial nirlaba, yang fokusnya terhadap hak, keadilan, persamaan, manfaat, dan kebajikan (rights, justice, equity, utility, and virtue)".

Kalau muncul ambivalensi, karena banyak organisasi dikelola dari atasan ke bawahan (top-down) dan sikap pandang yang berada di puncak adalah selalu benar dan yang dijajaran berikutnya hanya berkewajiban melaksanakan petuah-petuah atasannya.

Dalam organisasi bisnis, maka upaya mencari efisiensi ekonomi dengan motif laba merupakan inti ilmu manajemen, sedangkan upaya mencari keadilan dan perdamaian/harmoni melalui menajemen yang peka dan efektif pada tata-nilai adalah intinya management of values (manajemen bertata-nilai). Jadi, manajemen bukan hanya teknik dengan data statistik matematis semata tetapi ada tata nilainya. Tata nilai ini juga berlaku bagi pelaku birokrasi dan sosial.

Menghadapi gugatan moral, maka bagi setiap manusia agaknya hal itu adalah urusan pribadi di kalangan masyarakat berbudaya, baik dalam bisnis maupun pemerintahan, dan sosial. Sejak kecil manusia Indonesia dididik untuk memiliki kepatuhan moral, perlunya mencari harmoni, mengendalikan diri, bertanggung jawab, berterima kasih kepada orang tua dan sesama yang melayani, termasuk yang berada di kelas menengah sekaligus bawah.

Jadi, bagi masyarakat di negeri ini ada norma-norma yang harus diinternalisasikan dalam setiap pelaku pengambil keputusan. Kepekaan moral etis yang seringkali diabaikan, maka berarti harus menggerakkan kembali menjiwai diri manusia. Dengan demikian, bagi mereka setiap pengambilan keputusan, baik strategis maupun operasional, yang mencerminkan interaksi antara otak rasional dan kepekaan etis wajiblah tertanam secara hakiki (built-in) dalam diri manusia sebagai anggota masyarakat yang senantiasa menjiwai ukuran kebenaran, keadilan dan tata nilai.

Dalam dunia bisnis, maka bagi mereka itu faktor pengaruh moral tidak hanya terbatas pada interaksi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) dan memiliki pemerintahan yang baik dalam kepemimpinan dalam wujud sistem hukum dilekati kebijakan kebijakan yang transparan. Namun, mereka juga wajib pula memahami bahwa untuk mencapai keberhasilan, maka serangkaian kebijakan tersebut harus dalam harmoni dengan hukum alam (the laws of nature), budaya dan hati nurani manusia umumnya.

Pengaruh moral atau faktor politik yang transparan bagi anggota masyarakat, apalagi yang terbilang kelas menengah merasakan secara riil, tanpa tidak nyaman untuk menggugat kesadaran moralitas pihak birokrasi, termasuk para penegak hukum sebagai abdi masyarakat.

Hal yang acapkali menjadi isu dalam keseharian adalah sedalam mana kita sebagai manusia sadar akan nilai kemanusiaan (humanitas) yang berarti suatu kehidupan di tengah-tengah berbagai kesibukan rasional/praktis, serta menghayati kontemplasi dengan menggugat diri "apakah langkah dan berbagai keputusan dari yang sederhana sampai strategis yang diambil sudah benar?". Introspeksi semacam ini diharapkan berjalan teratur tanpa publisitas diri, atau jangan egoistis memikirkan citra diri sendiri atau bahkan malah menjadi pengecut yang tidak berani memperbaiki diri".

Dengan melakoni niat kesadaran diri (self-awarness), maka kita bakal berani memperbaiki ketimpangan dalam karakter yang pernah ada, dan meningkatkan kemanusiaan. Makin jelas bahwa tanggung jawab moral kita itu tidak melulu dari luar yang dipaksakan, namun harus tumbuh secara mandiri dalam pengertian pribadi ataupun anggota organisasinya sendiri.

Selama ini masih banyak pengamat, birokrat dan politisi di negeri ini terlihat suka menutup-tutupi kelemahan moral diri dengan ungkapan yang indah bunyinya yang dapat dimaknai sebagai hal "mau atau berani" memberi bobot pada etika terapan, namun pada kenyataannya hanya sebatas ucapan sloganistis, bahkan berperilaku tidak humanis.

Dalam era keterbukaan yang penuh dinamika, maka tugas manusia sesuai kesadaran diri dan kapasitasnya adalah mampu mulai kembali mengelola pribadi, membereskan rumah tangga, organisasi, bahkan negara dan bangsanya.

Semua pihak tentunya perlu melengkapi diri dengan pengetahuan yang diperlukan secara berkesinambungan. Sikap pandang yang sederhana ini tanpa tekanan tekanan teori yang serba rumit, yang kalau dilakoni akan membangun kesadaran moral diri.

Sebaliknya, bagi seseorang yang mengutamakan relativisme etik, dimana ukuran dan kriteria baik-buruk”, adil-tidak adil, jujur-tidak jujur, maka seringkali menjadi ukuran pribadi berupa pembenaran diri.

Berabjak dari sejumlah hal inilah, maka kita semua merasakan bahwasanya etika adalah tuntutan harkat etis manusia dan tidak layak dipenggal-penggal atau ditunda untuk membenarkan tindakan tidak adil dan tidak bermoral terhadap sesama manusia. Ada norma-norma yang harus berkesinambungan diinternalisasikan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Kepekaan moral etis (moral ethical sensitivity) yang perlu tetap menjiwai perilaku manusia.

Di dunia Timur atau Asia, makamasyarakatnya seharusnya memiliki kesadaran humanitas diri yang berarti suatu kehidupan dengan kontemplasi kerendahan hati (humble contemplation), dan senantiasa menguji perasaan dengan menanyai diri apakah serangkaian keputusan yang dibuat tepat atau tidak.

Mawas diri menjadi tantangan untuk "jangan memikirkan diri sendiri“ atau “jangan bersikap pengecut dengan relativisme etik”. Menggugat diri adalah satu keharusan pula, karena seseorang dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari mudah kehilangan arah mengenal pribadi yang beretika.

Untuk memberi bobot humanitas, masyarakat Timur atau Asia juga mengenal prasyaratbaku berupa banyak belajar (study and learning), dan bukan pamer kekakuan belajar secara klasikal layaknya hanya menebar wacana, melainkan dengan studi kelompok dan kontemplasi serius secara teratur. (*)

*) Bob Widyahartono M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.