Jakarta (ANTARA News) - Kegiatan negosiasi politik dan ekonomi di Asia (China, Jepang, Korea Selatan, India dan negara anggota perhimpunan
bangsa Asia Tenggara/ASEAN) umumnya oleh kebanyakan anggota eksekutif,
legislatif dan pengamat dipersepsi sebagai formalitas, dengan
masing-masing pihak menyampaikan pokok pokok untuk dikompromikan dan
kemudian disepkati. Kegiatan lobi itu mendahului proses negosiasi
formal.
Keahlian dan pengetahuan bidang yang ditekuni dan bukan yang umum umum saja. Justru kini makin diperlukan dalam melakukan lobbying
di Asia (China, Jepang, Korea Selatan, India dan Negara anggota ASEAN)
sebagai kawasan yang makin dinamis dan dipersepsi sebagai pemeran dunia
yang makin diunggulkan dibandingkan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Karena
realita di atas itu, perlu para aktor lobi, baik yang merasa sudah
berpengalaman maupun para pemula, perlu menyadari beberapa kualifikasi
dasar berikut ini:
Pertama, kesegaran fisik dan mental untuk
berpikir dan bertutur kata dalam bahasa, termasuk bahasa Inggris yang
jelas, tegas/mantap, sesuai dengan obyek lobi; kedua, menjadi pendengar
sebagai bagian komunikasi yang terfokus dan tidak menunjukkan bahasa
tubuh yang bimbang dan meragu; dan ketiga, senantiasa meng-up date
pengetahuan untuk menyiapkan diri menjelang jadwal lobi yang disepakati.
Darimana isitilah lobby dan kegiatan "melobi"? Lobby
adalah suatu ruang tunggu dalam gedung pertemuan umum, hotel,
perkantoran instansi pemerintahan atau swasta, ruang makan klub
olahraga seperti golf, tennis dan renang. Dalam ruang demikian itu
dilakukan pendekatan/negosiasi yang sifatnya masih non-formal.
Investasi
dalam pengembangan mutu pelobi harus diadakan, karena ia harus aktif
dan menyediakan waktu penuh untuk tugas dan tanggung jawab sebagai
pelobi. Seorang pelobi harus sehat fisik maupun mental dan tidak mudah
bosanan.
Banyak kali terungkap masih belum cukup siap dalam arti kompetensi para pelobi (lobbyist)
di Indonesia, baik dalam politik maupun ekonomi. Apalagi kalau
mentalitasnya sengaja menutup-tutupi ketidakmampuan dalam memberi bobot
dalam proses dan "mau cepat beres" (quick fix mentality) dan
tidak menghargai "upaya dan waktu lawan pelobi" yang bermakna.
Penerjemah pun yang diberdayakan tidak selalu bermutu dalam pemahaman
materi pembicaraan. So, what next?
Para penggalang
pelobi professional harus berpengalaman dalam membekali para pelobi
untuk setiap bahan dan bahasan serta anggaran yang memadai tanpa
pemborosan waktu dan dana. Berarti pelobi sebagai profesional ia harus
tetap mau belajar atau belajar kembali dan mengenali budaya/sikap
pandang lawan pelobi.
Dalam masyarakat internasional baik pemerintahan maupun kegiatan bisnis peranan pelobi (lobbyist) makin strategis untuk memperlancar rangkaian negosiasi. Banyak kali terungkap kesan pe-lobi itu dadakan satu kali einmalig untuk kepentingan politik sedangkan antara lobi politik dan ekonomi saling terkait.
Banyak
mantan elit legislatif maupun ekskekutif menonjolkan diri sebagai
pelobi, sok sibuk, ikut ikutan dalam lobi tanpa "persiapan dan
program". Pengamatan mengungkapkan ada saja pe-lobi menonjolkan diri
dengan self publicity di hadapan media cetak atau elektronik,
yang justru terungkap kedangkalan dan menimbulkan situasi meragu dalam
negosiasi yang lebih matang.
Sebagai pelobi, kalau tidak
menguasai bahasa para lawan pelobi, hendaknya jauh jauh hari
dipersiapkan penerjemah profesional dan benar-benar mendalami
sinyal-sinyal non-verbal, bahasa tubuh dan gaya komunikasi lawan
penerjemah atau lawan bicara. Pelobi melalui penerjemah perlu mengukur
diri dalam kecepatan menyampaikan pemikiran dan dengan menghindari
sikap serba tergesa nadanya (tone) mendesakkan pendirian atau gagasan, yang justru membuat penerjemahnya serba bingung.
Kembali
pada persyaratan baik mental, pengetahuan maupun sarana dana belakangan
ini perlu ketrampilan berteknologi informasi, telepon seluler (ponsel),
Internet, Facebook, untuk mampu mengungkapkan substansi dalam tahapan
tahapan melobi. Kegiatan ini tidak sekali atau instan membuahkan hasil (output). Harus diingat pula bahwa counter lobbyist juga tidak selalu siap sedia berkeinginan mencapai hasil.
Jumlah
pelobi itu tidak hanya dalam jumlah yang itu-itu saja untuk kepentingan
politik dan atau bisnis. Perlu dikembangkan kader untuk awalnya menjadi
pengikut dengan mengobservasi/mencatat, kemudian setelah beberapa kali
mampu menjadi pelobi saat dibutuhkan untuk fokus tertentu.
Bekal
pengetahuan adalah penting untuk juga menjalani semacam "internalisasi"
dulu, agar memadai dalam mutu dan tidak menimbulkan kesan di pihak
lawan pe-lobi sebagai dangkal tanpa persiapan dan sok tahu banyak.
Pertanyaan
yang menggelitik: apakah untuk menjadi pelobi dan kemudian negosiator
professional itu melalui pendidikan formal dengan sertifikat atau
ijazah khusus sebagai pertanda telah merampungkan studi formal?
Sertifikat
itu, sepertinya pelatihan formal belumlah menunjukkan kualifikasi dalam
praktiknya. Hal yang lebih berbobot nilainya adalah minat, persiapan
untuk setiap sesi lobi, kemauan berinteraksi sebagai proses ulet, tidak
arogan/sombong dan tidak menunjukkan sikap boros dana dan boros waktu.
Inilah pembelajaran kembali seni melakukan lobi yang patut disadari, dipahami dan setiap jangka waktu disegarkan. (*)
*)
Bob Widyahartono M.A.(bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi Asia
Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE
Untar) Jakarta.
Telaah --- Lobi Politik dan Ekonomi di Asia
14 November 2009 00:07 WIB
Bob Widyahartono (P003/PRH)
Oleh Bob Widyahartono M.A.
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009
Tags: