Jakarta (ANTARA) - Pemerintah mengantisipasi lonjakan emisi gas rumah kaca yang berpotensi terjadi saat melakukan pemulihan ekonomi nasional setelah pandemi COVID-19.

“Jadi kalau kemarin langit sempat biru, jika tidak melakukan pendalaman itu hanya sementara,” kata Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adi Budiarso dalam webinar LPPI di Jakarta, Jumat.

Pemerintah, kata dia, mulai tahun ini melakukan penandaan anggaran atau budget tagging di level daerah dengan indikator kinerja tidak hanya ekonomi tetapi juga sosial sebagai imbas COVID-19 dan juga lingkungan.

“Risiko perubahan iklim harus ditangani dan lingkungan kita harus ada tiga indikator utama untuk pembangunan pusat dan daerah yakni ekonomi, sosial dan lingkungan serta itu menciptakan keberlanjutan,” katanya.

Pemerintah, lanjut dia, tetap berkomitmen mengatasi perubahan iklim sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 yang mengesahkan Perjanjian Paris terkait lingkungan.

Kementerian Keuangan bersama Bappenas, kata dia, menghitung besaran biaya yang digunakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca mencapai Rp250 triliun per tahun hingga 2030, sekitar 5 persen di antaranya berasal dari APBN.


Baca juga: Pemerintah naikkan anggaran mitigasi-adaptasi perubahan iklim

Baca juga: Pemerintah perlu waspadai dampak iklim terhadap stok beras


Secara nominal, anggaran perubahan iklim mengalami tren peningkatan sejak tahun 2016-2018 dengan alokasi mencapai Rp92,5 triliun per tahun atau 4,3 persen dari APBN per tahun.

Pemerintah memobilisasi sumber-sumber pembiayaan di luar APBN agar upaya pencapaian target tercapai untuk pengurangan emisi sebesar 29 persen tahun 2030 dan sebesar 41 persen penurunan emisi didukung kerja sama internasional.

Adapun inovasi pembiayaan perubahan iklim dilakukan melalui penerbitan green sukuk yakni tahun 2018 mencapai Rp16,75 triliun dan 2019 mencapai Rp11,25 triliun.

Alokasi pendanaan green sukuk untuk tahun 2019 adalah untuk sektor transportasi sebesar 49 persen, meningkatkan ketahanan iklim daerah rentan (11 persen), energi terbarukan (5 persen), efisiensi energi (27 persen) serta pengelolaan limbah untuk energi (9 persen).

Adi menambahkan berdasarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada masa pandemi COVID-19, emisi gas rumah kaca global sempat mengalami penurunan 6 persen.

Namun, lanjut dia, penurunan emisi itu menjadi berita baik dalam jangka pendek.

Pola laju emisi umumnya beriringan dengan laju pertumbuhan ekonomi pascakrisis seperti di Amerika Serikat ditandai bangkitnya perekonomian memicu peningkatan laju emisi karbon dioksida (CO2).

Berdasarkan Natural Climate Change and Global Carbon Project, sejak negara-negara merelaksasi kebijakan karantina wilayah atau lockdown, tingkat emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil kembali meningkat meski sempat menurun drastis pada awal Maret-April 2020.


Baca juga: Perlu evaluasi target penurunan emisi pascanormal baru berjalan

Baca juga: Indonesia mulai bidik potensi perdagangan karbon