Oleh Bob Widyahartono, MA *)
Jakarta (ANTARA News) - Di sela-sela Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) kelompok 20 negara (Group 20 - G20) di Pittsburg, Amerika Serikat (AS), Perdana Menteri (PM) Jepang, Yukio Hatoyama, dan Presiden Republik Rakyat China (RRC), Hu Jintao, mencapai kesepakatan dasar untuk memberi substansi pada gagasan regionalisme Asia dalam satu dasa warsa yang akan datang. Suatu langkah maju, yang berarti memantapkan Asia sebagai kawasan yang dihargai dalam dunia.
Anggota G20 meliputi Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, AS, Australia, Brazil, Britania Raya, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Prancis, RRC, Rusia, Turki, dan Uni Eropa.
Sementara itu, dua tahun lalu, di Singapura, para pemimpin perhimpunan bangsa Asia Tenggara (Association of South-East Asia Nations - ASEAN) menandatangani deklarasi Komunitas Ekonomi ASEAN bertujuan pada tahun 2015 menjadi Pasar Bersama ASEAN. Dengan tekad bersama membangun kebersamaan ASEAN laksana kelompok angsa terbang (flying geese) menuju masyarakat Asia yang "damai, harmoni dan sejahtera" (peace, harmony and prosperity). Dari Komunitas ekonomi ASEAN menuju regionalisme Asia , yakni ASEAN Plus Tiga. Tiga negara bersama ASEAN adalah Jepang, Korea Selatan dan China. Sedangkan, ASEAN beranggotakan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Kemudian, pada 10 September 2008 , Departemen Keuangan, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank - ADB) bersama Center for Strategic International Studies (CSIS) menyelenggarakan konperensi kerja “Emerging Asian Regionalism: Trends and Analysis”, di Hotel Borobudur Jakarta.
Kala itu, tokoh elit Indonesia bersama berbagai elit dari China, Jepang dan Thailand yang menggagas konperensi ikut menjadi panelisnya. Apa topiknya makin menantang untuk menjadi fokus, saat masyarakat dunia menyaksikan berbagai lembaga multilateral, layaknya Organisasi Perdagangan Bebas (World Trade Organization - WTO), Dana Moneter Internasional (International Monetary Bank - IMF), Bank Dunia (World Bank - WB), dan World Economic Forum - WEF), selama ini dinilai tidak berhasil menghasilkan keputusan positif yang pro negara anggota, khsusunya dari Asia Timur.
Apalagi, sejak 1990an sebagai istilah, maka “globalisasi” sebagai semacam ideal yang merupakan ciptaan kalangan akademisi AS yang menurut versi dan interpretasi yang mereka propagandakan sebagai universal. Rupa-rupanya globalisasi dibuat sepihak oleh kalangan ilmuwan AS untuk makin akseptabel, dan bukannya “globalisme”. Tadinya, sebelum muncul istilah globalisasi, maka hal yang dikenal adalah “internasionalisasi”. Dalam perjalanan waktu, maka hilanglah istilah internasionalisasi dalam pemakaian bisnis sehari hari.
Sesungguhnya, dalam dasa warsa lalu H.W. Arndt, ekonom Australia dalam “Anatomy of Regionalism” (1993) menulis sebagai berikut “…..Regionalisme berada dalam modenya (fashion)..” . Demikian pula, Dr. Saburo Okita (tokoh perencana ekonomi Jepang, akhir tahun 1980an) menyatakan jauh-jauh hari “ globalisme awalnya dan regionalisme merupakan aliran utama dalam dunia dewasa ini ….. Globalisme telah kehilangan glamournya … Tapi regionalisme tetap berada di puncak agenda….”
Sejak 1990an, Asia memperoleh citra yang makin menonjol sebagai kawasan (growing image of Asia as a region). .Dengan melihat realita dan kondisi negara negara di kawasan Asia Timur yang kini makin dikenal sebagai ASEAN Plus Three (ASEAN Plus Korea Selatan , Jepang dan China), regionalismenya berarti kerjasama dan koordinasi kebijakan ekonomi dalam gaya Asia (regional economic policy cooperation and coordination in Asian Style based on networking and mutual trust).
Tahun 1993, gagasan pengaturan Ekonomi Regional dengan “nilai-nilai Asia”, dan “Asianisasi Asia” diperkenalkan oleh Yoichi Funabashi, ekonom/pengamat Jepang, sebagai dasar pemikiran regionalisme Asia.. Regionalisme ekonomi Asia adalah ekonomi (komersial, finansial, pembangunan). Sekalipun dengan politis dalam motivasinya, belum ada pemikiran kearah kesatuan politik (political unity).
Gelombang kesadaran Asia yang muncul sejak tahun 1990an ini bisa merupakan sarana untuk membendung dominasi (halus maupun terang terangan) dan diskriminasi seperti tuduhan dumping dari khususnya Amerika. Kesadaran Asia makin menunjukkan realisasinya diwujudkan dalam sikap pandang sehari hari dengan munculnya kelas menengah baru yang memiliki kapasitas dan lebih bermutu “
Kelas menengah baru
Walaupun negara negara di Asia Timur intinya , seperti Jepang, China , Korea, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Indonesia, tingkat pembangunan (stage of economic development) berbeda, namun tantangan dunia yang makin terbuka membuat kesadaran Asia satau Asianess makin mendesak.
Kesadaran berkawasan Asia Timur pada tahap pertama bisa diartikan sebagai suatu metoda kerjasama dan koordinasi kebijakan Awalnya, disepakatinya kerangka kerja kerjasama (cooperation framework) dan implementasinya sesuai dengan kapasitas masing masing perekonomian. Langkah awal ini akan memberi substansi pada regionalisme Asia.
Kapasitas baru kelas menengah kita terutama yang berada dalam lingkungan bisnis swasta yang sadar akan efisiensi dan pembangunan kapasitas diri pasti emoh birokrasi berbelit belit oleh birokrasi pemerintahan. Kelas menengah baru yang makin sadar akan good corporate governance” terus akan menuntut kesadaran good public governance. Dengan sikap pandang yang makin bermutu, proses pembentukan Asianisasi Asia dan regionalisme di kemudian hari Asia, satu dua dasa warsa nanti memperoleh wujudnya.
Dapat dimengerti kalau para ekonom Asia Timur belum serius menjadikan agenda ke depan, yakni Asia Monetary Fund dan Asia Money karena masing masing negara masih ingin memperkuat posisi ekonominya dulu. Selama ini sejak usainya Perang Dunia kedua semua transaksi baik dalam hitungan pemerintahan masing masing mauun antar bisnis di Asia masih berlangsung dengan perhitungan dikembalikan pada nilai dollar Amerika . Transaksi dengan dollar Amerika dan pinjaman dari lembaga seperti IMF/Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia diberikan dalam dollar AS, demikian pula pinjaman resmi (Official Development Assistance - ODA).
Padahal, negara-negara Asia Timur dalam dasawarsa mendatang makin layak merintis pembentukannya yang disusul dengan kerangka kerja ke arah realisasi Asia Monetary Fund dan penciptaan Asia Money. Dengan kekuatan bersama Jepang dengan cadangan devisanya sebesar 0,9 triliun dolar AS, dan China 2,3 triliun AS plus negara negara Asia Timur layaknya Korea Selatan, ASEAN plus Taiwan, Hongkong menjadi total 3,7 triliun AS merupakan kekuatan tersendiri yang tidak mudah mengalami goncangan serupa krisis 1997/1998, serta tidak terjebak kembali dalam permainan spekulan mata uang dan pasar modal yang intinya berasal dari AS.
Oleh karena itu pula, China dalam KTT G20 di Pittsburg agaknya tidak terlalu salah manakala mempertanyakan mengapa hanya dolar AS yang selama ini menjadi standar jangkar mata dalam pertukaran mata uang Asing. Negeri Tirai Bambu yang selama ini posisi ekonominya terlihat makin menguat malah mengajukan, agar mata uang yuan China juga diperhitungkan setara dengan dolar AS.
Adapun tantangan bagi para elit pembuat kebijakan di Indonesia, terutama didukung oleh kelas menengah eselon bisnis/perbankan tampaknya harus mulai mewujudkan serangkaian program untuk membentuk “visi kebersamaan ke depan ” dengan keterlibatan pelaku bisnis yang sudah “go internasional” secara kredibel dan kompeten dalam ikut dalam mengisi regionalisme Asia. (*)
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi studi pembangunan, khususnya masalah Asia Timur; dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta.
Regionalisme Ekonomi Asia: ASEAN Plus Tiga
26 September 2009 02:23 WIB
Bob Widyahartono (P003/PRH)
Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009
Tags: