Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia semula merupakan institusi nan eksklusif dan kaku. Citra itu melekat berpuluh-puluh tahun. Namun, derap dunia perbankan yang membutuhkan sikap luwes, inklusif, dan terbuka pada gagasan baru, mengharuskan bank sentral itu berubah. Miranda Goeltom, Deputi Senior Bank Indonesia, merekam dengan baik transformasi internal Bank Indonesia menghadapi perubahan tata perundangan baru dan pola hubungan kerja baru dengan instansi lain, dalam buku bertajuk "Mencairkan Gunung Es, Siasat Mengubah Kebuntuan dalam Organisasi". Tranformasi di tubuh Bank Indonesia memang belum berakhir, namun kini, wajah Bank Indonesia memang terlihat lebih "ramah", luwes, dan lebih bersahabat. "Gunung es" di singgasana otoritas moneter itu perlahan-lahan mulai melumer. Dalam buku terbitan Murai Kencana tahun 2008, Miranda Gultom yang juga berprofesi dosen dan peneliti itu menceritakan kondisi awal gambaran manusia Bank Indonesia yang cerdas dan terpilih dengan kelengkapan fasilitas "aduhai", gedung megah dan koridor yang kokoh, sehingga terbentuk karakter pegawai yang terlihat kurang suka tantangan. Namun berkat upaya yang konsisten dari manajemen Bank Indonesia melalui strategi jitu yang diterapkan, maka kebekuan, kebuntuan yang meliputi 28 direktorat dengan 6.000 karyawan itu meleleh. Buku ini mampu memberi pemahaman utuh tentang konsep teamwork, kesatuan yang cair, lumer serta bagaimana merombak kekakuan pola hubungan dan komunikasi menuju kultur yang terbuka, ditandai dengan kemauan menjadi pendengar yang agresif, ketulusan berbagi dan melayani. Persis seperti testimoni Eileen Rahman, Direktur EXPERD dalam sampul buku yang menyebutkan bahwa manusia Bank Indonesia mampu berubah demi menyebarkan spirit belajar dan berbagi. "Miranda...bisa mendorong manusia Bank Indonesia untuk berubah, bukan demi berubahnya atau mendapatkan award Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) saja, tetapi demi penyebaran spirit dan wisdom yang ditularkan atau di-`gethok-tular`-kan melalui "Knowledge Management" yang caranya digambarkan secara gamblang, `common sense`, dan penuh `sense of humor`?" MAKE adalah sebuah penghargaan dan pengakuan terhadap organisasi yang menghargai pengetahuan sebagai aset yang berharga. Dan sejak inisiatif Knowledge Management diterapkan tahun 2003, Bank Indonesia telah mendapat award itu berturut-turut sejak tahun 2005 hingga 2007. Hal yang patut dicermati adalah upaya menciptakan organisasi pembelajar bukanlah sesuatu yang mustahil, namun sangat membutuhkan keseriusan dan komitmen dari seluruh pihak dan strategi jitu untuk mewujukkannya. Mitra Perubahan Bank Indonesia menekankan pentingnya tugas dan peran Mitra Perubahan, sebuah istilah untuk "agent of change", yakni seorang yang memiliki ketrampilan memecah kebekuan yang keberadaannya diakui yang ditunjuk managemen bukan secara struktural dan dilesapkan ke tiap satuan kerja. Mereka adalah aktor penting yang memungkinkan program berbagi pengetahuan berlangsung lebih alamiah karena mereka berperan sebagai tokoh-tokoh informal di lingkungannya. Mereka adalah pembuka pintu kesadaran untuk mulai berbagi pengetahuan. Mitra Perubahan mendapat insentif dan ditunjuk dengan asumsi mereka berusia muda dengan kemampuan penguasaan teknologi (IT-literate) serta memiliki ciri seorang pemimpin informal di lingkungan kerjanya. Patut disayangkan -- atau memang disengaja -- buku ini tidak mencantumkan kriteria spesifik tentang insentif bagi motor penggerak perubahan yang jumlahnya saat ini 521 orang (hal 33) itu. Buku hard cover dengan ketebalan 214 plus xvii halaman ini layak dibaca oleh akademissi maupun praktisi, terutama eksekutif-eksekutif muda yang saat ini sudah semakin sadar arti pentingnya managemen pengetahuan. Terbagi dalam 7 bab, diawali dengan pembahasan tentang niat untuk berubah dan menyelesaikan pekerjaan, tugas dan fungsi Mitra Perubahan, ditutup dengan bab tentang berbagi pengetahuan ("knowledge sharing") dan membangun jejaring ("making the network") serta epilog. Gaya bahasa Miranda mengalir lancar disertai contoh kasus bahkan potongan "blog" dan poster berbagai kegiatan forum diskusi, serta diselingi dengan teori pendukung, tips dan trik. Pada Bab 4 tentang berbagi rasa dan karsa, Miranda menulis bahwa belajar adalah sebuah proses tiada akhir dan haruslah dikemas dalam kegiatan yang menarik, menyenangkan apalagi bila kata belajar diterapkan dalam lingkup dunia kerja. "Belajar yang mengandung keakraban dan toleransi, bukan pemintaran dan pencarian prestasi yang memisahkan seorang dari `milieu` terdekatnya. Bukan juga belajar yang menyampingkan faktor pendukung dan bukan belajar yang `steal the show`. Belajar ya belajar, usaha kita untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya (hal 91). Bank Indonesia sudah menyiapkan sarana e-learning untuk menggairahkan minat belajar. Tersedia juga forum-forum rutin di tiap Satuan Kerja. Muncul istilah Brosan atau Obrolan Santai dan SAPA untuk istilah Salurkan Pengetahuan Anda. Menarik dicermati tulisan pada bab Medium Hangat Medium Sejuk, sepintas Miranda yang dianugerahi gelar professor tahun 2007 dari Universitas Indonesia itu menyampaikan hakekat manusia sebagai makhluk sosial. "Penataan ruangan memungkinkan komunikasi tatap muka berlangsung kapan saja. Inilah kewajaran yang sering terlupakan dibanyak institusi; biar bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang gemar bercakap-cakap secara langsung, menciptakan kehangatan di ruang yang sejuk berpendingin ruangan (hal 131). (*)