KPK sebut setengah peraturan internal akan berubah terkait revisi UU
9 Oktober 2019 22:10 WIB
Dokumentasi - Jubir KPK Febri Diansyah bersiap memberikan keterangan pers terkait pengembangan perkara dari OTT kasus suap dalam proyek Baggage Handling System (BHS) di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (2/10/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc/pri
Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyebut lebih dari setengah peraturan internal lembaganya akan berubah dengan adanya revisi Undang-Undang KPK.
"Identifikasi awal yang kami lakukan itu lebih dari setengah peraturan internal KPK akan berubah dengan adanya revisi undang-undang KPK ini, begitu nanti diundangkan dan berlaku," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, KPK telah mengidentifikasi 26 persoalan dalam revisi Undang-Undang KPK yang nantinya berisiko melemahkan kerja lembaga antirasuah tersebut.
Baca juga: Syamsuddin Haris: Pemakzulan karena Perppu KPK itu pembodohan publik
"Ini tentu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan cepat dan bukanlah pekerjaan yang gampang, meskipun kami tidak bisa menghindari beberapa risiko kerusakan atau kelemahan yang terjadi di KPK akibat dari RUU itu. Dari identifikasi kami sejauh ini kan ada 26 setidaknya kalau dirinci lagi mungkin bisa jauh lebih banyak," ungkap Febri.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa proses perubahan internal itu nantinya berjalan secara bertahap.
"Mungkin nanti prosesnya kan masih berjalan secara bertahap. Ada aspek regulasi yang harus kami lihat, ada aspek sumber daya manusia kemudian juga ada sisi-sisi implementasi ke penindakan yang juga harus segera kami sesuaikan," kata Febri.
Febri juga menyinggung soal kewenangan penyadapan yang dipangkas terkait revisi UU KPK tersebut.
Baca juga: ICW: Ada 10 konsekuensi timbul bila presiden tak keluarkan Perppu KPK
"Kewenangan penyadapan yang dipangkas, misalnya, atau adanya risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK yang melakukan penyadapan itu juga harus betul-betul kami hitung jangan sampai pegawai KPK yang menjalankan tugasnya justru terancam pidana karena aturan undang-undang yang tidak jelas," ujar Febri.
Adapun 26 persoalan yang diidentifikasi KPK soal revisi UU KPK tersebut, yakni pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus, dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.
Selanjutnya standar larangan etik dan anti konflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK, dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
Kemudian, salah satu pimpinan KPK pasca-UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun, pemangkasan kewenangan penyelidikan, pemangkasan kewenangan penyadapan, operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK, terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.
Baca juga: Salahnya apa KPK hingga harus dibatasi kewenangannya?
Berikutnya, ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
Selanjutnya, pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN, terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
Kemudian, jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara, diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.
Berikutnya, terdapat pertentangan sejumlah norma, hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik, KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara, tidak ada penguatan dari aspek pencegahan, dan kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.
Baca juga: Istana temukan salah ketik dalam revisi UU KPK
Baca juga: Puan Maharani nyatakan Perppu KPK belum ada kelanjutannya
"Identifikasi awal yang kami lakukan itu lebih dari setengah peraturan internal KPK akan berubah dengan adanya revisi undang-undang KPK ini, begitu nanti diundangkan dan berlaku," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Sebelumnya, KPK telah mengidentifikasi 26 persoalan dalam revisi Undang-Undang KPK yang nantinya berisiko melemahkan kerja lembaga antirasuah tersebut.
Baca juga: Syamsuddin Haris: Pemakzulan karena Perppu KPK itu pembodohan publik
"Ini tentu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan cepat dan bukanlah pekerjaan yang gampang, meskipun kami tidak bisa menghindari beberapa risiko kerusakan atau kelemahan yang terjadi di KPK akibat dari RUU itu. Dari identifikasi kami sejauh ini kan ada 26 setidaknya kalau dirinci lagi mungkin bisa jauh lebih banyak," ungkap Febri.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa proses perubahan internal itu nantinya berjalan secara bertahap.
"Mungkin nanti prosesnya kan masih berjalan secara bertahap. Ada aspek regulasi yang harus kami lihat, ada aspek sumber daya manusia kemudian juga ada sisi-sisi implementasi ke penindakan yang juga harus segera kami sesuaikan," kata Febri.
Febri juga menyinggung soal kewenangan penyadapan yang dipangkas terkait revisi UU KPK tersebut.
Baca juga: ICW: Ada 10 konsekuensi timbul bila presiden tak keluarkan Perppu KPK
"Kewenangan penyadapan yang dipangkas, misalnya, atau adanya risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK yang melakukan penyadapan itu juga harus betul-betul kami hitung jangan sampai pegawai KPK yang menjalankan tugasnya justru terancam pidana karena aturan undang-undang yang tidak jelas," ujar Febri.
Adapun 26 persoalan yang diidentifikasi KPK soal revisi UU KPK tersebut, yakni pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus, dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.
Selanjutnya standar larangan etik dan anti konflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK, dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
Kemudian, salah satu pimpinan KPK pasca-UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun, pemangkasan kewenangan penyelidikan, pemangkasan kewenangan penyadapan, operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK, terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.
Baca juga: Salahnya apa KPK hingga harus dibatasi kewenangannya?
Berikutnya, ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas di UU KPK, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
Selanjutnya, pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN, terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat resiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
Kemudian, jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara, diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.
Berikutnya, terdapat pertentangan sejumlah norma, hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik, KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara, tidak ada penguatan dari aspek pencegahan, dan kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.
Baca juga: Istana temukan salah ketik dalam revisi UU KPK
Baca juga: Puan Maharani nyatakan Perppu KPK belum ada kelanjutannya
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019
Tags: